Humanity Is One Merupakan Klaim yang Absurd

Mediaumat.info – Prinsip atau klaim humanity is one yang berarti semua manusia adalah satu dan bersifat universal, lintas geografis, etnik, kultural, agama, dan status sosial, dinilai sebagai klaim yang tak masuk akal (absurd).

“Klaim semua manusia sama dan setara adalah klaim absurd,” ujar Peneliti Kajian Tsaqafah Islamiah, Tafsir dan Balaghah Ustadz Irfan Abu Naveed, M.Pd.I. kepada media-umat.info, Jumat (13/9/2024).

Sebagaimana dikabarkan, klaim ini dilontarkan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A. ketika menyambut kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia belum lama ini.

Ketika itu, Nazaruddin menyampaikan prinsip tersebut yang berarti siapa pun boleh masuk dan mendapatkan manfaat dari Masjid Istiqlal. “Siapa pun boleh masuk untuk mencari kebaikan bagi umat manusia melalui masjid ini. Sejak awal, Masjid Istiqlal berfungsi untuk membudayakan dan melayani semua orang,” ungkap Nasaruddin dalam sambutannya.

Bahkan dirinya juga menegaskan bahwa Masjid Istiqlal bukan hanya rumah ibadah bagi umat Islam, tetapi juga rumah besar bagi kemanusiaan.

Sebelum penjelasan lebih lanjut, kata Irfan, perlu kiranya umat memahami terlebih dahulu bahwasanya prinsip humanity is one adalah turunan dari filsafat humanisme yang menjadikan akal pikiran sebagai standar kehidupan dan perbuatan manusia.

Maka tak heran, humanisme yang menjadikan rasio (akal) sebagai standar ini memiliki prinsip mempertuhankan akal. Ditambah, akal manusia pada faktanya juga terbatas secara ilmu pengetahuan.

Klaim ini, sambung Irfan, juga bertentangan dengan realita adanya perbedaan manusia pada aspek agama yang merepresentasikan perbedaan keyakinan dan cara beragama.

“Tidak perlu jauh-jauh berbicara tentang delusi humanity is one. Konsep dasar humanisme saja masih diperdebatkan penganutnya, dan gagal menyatukan penganutnya,” cetusnya.

Sebutlah di antaranya mazhab Feuerbach yang mengklaim esensi manusia lebih mulia daripada Tuhan, karena manusia memiliki rasionalitas dan moralitas. Sementara madzhab Stirner memandang sebaliknya, yakni manusia tanpa esensi dan predikat.

Karena itu, terang Irfan, tidaklah mungkin pula menyatukan seluruh manusia dengan mengatasnamakan humanity is one. Apalagi dengan segala keterbatasan akal, berpotensi sangat besar memunculkan perbedaan pemahaman di antara manusia.

Menanggapi semua itu, Irfan pun menyinggung standar yang secara komprehensif mampu mengatur segala aspek kehidupan di dunia ini, yakni aturan Allah SWT. Sebab Dialah yang menciptakan manusia berikut seperangkat pedoman hidup yang komprehensif dan sempurna dimaksud.

“Bukan hanya seperangkat pedoman, bahkan Allah hadirkan pula utusan-Nya yang menjadi guide (panduan) manusia memahami dan mengamalkan secara praktis,” tambahnya.

Lantas terkait pernyataan bahwa Bani Adam dimuliakan Allah SWT, memang benar adanya. Tetapi menurut Irfan, terbatas dalam hal fisik penciptaan dengan wujud paling baik dibandingkan makhluk-makhluk lainnya.

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan,” ucapnya menyampaikan makna QS al-Isra’ ayat ke-70.

Sedangkan kaitannya dengan keyakinan dan perbuatan manusia, maka jelas tingkatan manusia berbeda-beda. Ada yang mulia karena derajat ketakwaan. Dan ada yang tercela, semisal orang-orang yang kafir.

Malahan, kata Irfan, di antara kaum yang Allah SWT vonis sebagai golongan kafir adalah Yahudi dan Nasrani yang memiliki ajaran bahwa Allah memiliki anak.

“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Al Masih itu putera Allah’. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” demikian bunyi QS al-Taubah: 30.

Tak Memanusiakan Manusia

Pada aspek keyakinan, humanisme atau secara teori merupakan aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik ini, pun dinilai justru tidaklah memanusiakan manusia.

“Humanisme pada hakikatnya tidak memanusiakan manusia,” ujar Irfan.

Menurutnya, paham ini justru menuhankan rasio atau akal, dan moral manusia. Sedangkan Tuhan sendiri hanya dipandang sebagai proyeksi pemikiran manusia, imajiner yang berarti hanya terdapat dalam angan-angan (bukan yang sebenarnya).

Padahal, kata Irfan lebih lanjut, pada diri manusia terdapat tanda-tanda nyata adanya Sang Pencipta yakni Allah yang Mahakuasa, karena tak masuk akal jika manusia bahkan seisi alam semesta yang kompleks ini ada dengan sendirinya.

Dengan kata lain, jika manusia dianggap nyata, bukan imajiner, tidak masuk akal pula ia diadakan oleh sesuatu yang imajiner.

“Dialah Allah al-Khâliq al-Mudabbir, meminjam istilah dalam ilmu logika, adanya ciptaan menjadi dilâlah sharîhah ghayr lafzhiyyah yang secara qath’i (pasti), menunjukkan adanya Sang Pencipta,” terangnya.

Untuk itu, sesaat setelah menukil QS Al-Dzariyat: 21 tentang terdapatnya tanda-tanda kekuasaan Allah SWT di dalam penciptaan manusia, Irfan memaparkan bahwa pada aspek perbuatan, humanisme justru menumbuhsuburkan sekularisme dan memarjinalkan peran agama dalam mengatur kehidupan manusia.

Konsep ini, jelas bertentangan dengan kewajiban menjadikan Islam sebagai aturan hidup. “Segala hal yang dibangun di atas asas yang batil maka batil,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: