Hukum Nikah Mut’ah

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

Tanya :

Ustadz, mohon jelaskan hukum nikah mut’ah! (Abu Kamila, Jogja)

Jawab :

Nikah mut’ah (temporary marriage) adalah menikah dengan seorang wanita untuk jangka waktu sementara dengan mahar tertentu. (nikaah al mar`ah li muddah al mu`aqqatah ‘ala mahrin mu’ayyan). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 309). Misal seorang lakilaki berkata kepada seorang wanita,”Aku beri engkau harta sekian dengan ketentuan aku akan bersenang-senang denganmu selama satu hari, atau satu bulan, atau satu tahun.” Ini contoh untuk jangka waktu yang ma’luum (diketahui dengan jelas). Dapat juga jangka waktunya majhul (tak diketahui jelas), misalnya,”Aku beri engkau harta sekian dengan ketentuan aku akan bersenang-senang denganmu selama musim haji, atau selama aku tinggal di negeri ini, atau hingga datangnya si Fulan.” Jika jangka waktu tersebut berakhir, terjadilah perpisahan (furqah) antara laki-laki dan wanita itu tanpa talak. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/333).

Nikah mut’ah hukumnya haram. Inilah pendapat jumhur fuqaha, yaitu ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, dan lain-lain dengan berbagai dalil-dalil syar’i yang rajih (kuat), yang intinya membuktikan bahwa nikah mut’ah itu hukumnya mubah di awal Islam, namun kemudian hukum mubah ini dihapus (di-nasakh) sehingga hukumnya menjadi haram hingga Hari Kiamat. Sebagian ulama mengatakan nasakh (penghapusan) itu terjadi saat Haji Wada’, sementara sebagian ulama lainnya mengatakan nasakh tersebut terjadi saat Fathul Makkah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/333; Imam Al Ja’bari, Rusukh Al Ahbar fi Mansukh Al Akhbar, hlm. 440; Imam Ibnu Syahin, An Nasikh wa Al Mansukh min Al Hadits, hlm. 221).

Dalil pendapat jumhur antara lain hadits Ar Rabii’ bin Sabrah Al Juhani RA dari ayahnya bahwa Nabi SAW pernah bersabda,” Wahai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian untuk nikah mut’ah dengan para wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal itu hingga Hari Kiamat. Maka barangsiapa yang di sisinya ada wanita-wanita [yang dinikahinya secara nikah mut’ah], hendaklah dia berpisah darinya, dan janganlah kamu mengambil apa yang telah kamu berikan kepada mereka.” (HR Muslim no 1406). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/334).

Dalil lainnya dari jumhur ulama firman Allah SWT (yang artinya),”Dan [orang-orang yang beriman] adalah orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS Al Mukminuun [23] : 5-6). Wanita yang dinikahi dengan nikah mut’ah sebenarnya bukanlah istri dan bukan pula budak. Maka nikah mut’ah pastilah termasuk perbuatan tercela yang haram hukumnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/335; Muhammad Malullah, Al Syi’ah wal Mut’ah, hlm. 24).

Kaum Syiah berpendapat nikah mut’ah hukumnya boleh. Imam Khomeini, misalnya, dalam kitabnya Kasyful Asraar hlm. 117-118 mengatakan nikah mut’ah itu halal dengan beberapa alasan; Pertama, bahwa nikah mut’ah itu tidak dinasakh dan yang melarang mut’ah adalah Umar itu sendiri, bukan Nabi SAW. (HR Muslim dari Jabir no 1405). Kedua, bahwa nikah mut’ah itu dibolehkan oleh ayat (yang artinya),”Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).“ (QS An Nisaa` [4] : 24) (Muhammad Malullah, Al Syi’ah wal Mut’ah, hlm.12).

Pendapat Imam Khomeini itu batil. Pertama, tidak benar bahwa tak ada nasakh nikah mut’ah dan tak benar pula nikah mut’ah diharamkan oleh Umar bin Khaththab itu sendiri. Yang benar, nikah mut’ah telah dinasakh oleh Nabi SAW dan Umar sekedar mengokohkan pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi SAW. Umar berkata, ”Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah mengizinkan kita untuk nikah mut’ah tiga kali, lalu mengharamkannya.” (HR Ibnu Majah, no 1963; Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 9/183). Kedua, ayat tersebut (QS An Nisaa` : 24) tidak menunjukkan bolehnya nikah mut’ah. Karena jika dibaca ayatnya secara utuh dari awal hingga akhir, akan jelas konteksnya adalah pernikahan biasa yang halal, bukan nikah mut’ah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/335; Muhammad Malullah, Al Syi’ah wal Mut’ah, hlm. 17). Wallahu a’lam.[]

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 164

 

 

Share artikel ini: