Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi
Tanya :
Ustadz, bolehkah kita menyolatkan orang yang meninggal karena meminum miras (minuman keras)? Soalnya kasus tersebut banyak terjadi di daerah saya. (A. Rahmat, Garut).
Jawab :
Hukumnya tetap fardhu kifayah menshalatkan orang yang meninggal karena minuman keras (khamr) tersebut, selama orang tersebut masih meyakini keharamannya. Inilah pendapat jumhur ulama, yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, dan Asy Syafi’i, yang lebih kuat (rajih) dalam masalah ini. Namun bagi orang-orang yang menjadi tokoh agama di tengah masyarakat, misalnya seorang Imam (Khalifah) atau ulama, yang lebih afdhal adalah tidak menshalatkan orang tersebut, untuk memberikan efek jera kepada orang-orang lain yang mengerjakan dosa besar semisal itu. (Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/695; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 746; M. Nashirudin Al Albani, Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hlm. 108-109; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 16/37).
Dalil tetap wajibnya menshalatkan jenazah pelaku dosa besar, seperti minum khamr, berzina, meninggalkan shalat, bunuh diri, dan sebagainya, adalah hadits dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Shalat [jenazah] wajib hukumnya atas setiap-tiap [jenazah] Muslim entah dia orang baik atau orang fajir (fasik), meskipun dia melakukan dosa-dosa besar.” (Arab : al sholaah waa’jibatun ‘ala kulli muslim barran kaana aw faajiran wa in ‘amila al kabaa`ir). (HR Al Baihaqi, dalam As Sunan Ash Shughra, no 501).
Adapun dalil bahwa pemimpin atau tokoh umat Islam sebaiknya tidak menshalatkan jenazah pelaku kemaksiatan, antara lain hadits Zaid bin Khalid Al Juhni ra, yang meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari kaum Muslimin telah terbunuh pada perang Khaibar dan berita laki- laki tersebut telah disampaikan kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW bersabda, ”Shalatilah kawanmu!” [Rasulullah SAW tidak mau menshalatkan]. Maka berubahlah wajah orang-orang [terkejut] karena sabda tersebut. Maka ketika Rasulullah SAW mengetahui keadaan mereka [terkejut], bersabdalah Rasulullah SAW, ”Sesungguhnya kawanmu itu telah mengambil harta secara curang pada saat berjihad di jalan Allah.” Lalu kamipun memeriksa barang milik laki-laki itu dan kami dapati kharaz (tali untuk merangkai perhiasan seperti permata atau mutiara) milik orang Yahudi yang nilainya tidak sampai dua dirham.” (HR Abu Dawud, no 2712, hadits shahih). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 746; Imam Abu Thayyib Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud; 7/379).
Dalam hadits tersebut terdapat dalil untuk dua hal; Pertama, bahwa bagi pemimpin atau tokoh umat Islam, yang utama (afdhal) sebaiknya tidak menshalatkan orang tersebut, untuk memberikan efek jera kepada pelaku kemaksiatan serupa. Hal ini ditunjukkan oleh tindakan Rasulullah SAW yang tidak mau mensahalatkan jenazah pelaku ghulul (mengambil harta secara curang/khianat) tersebut. Kedua, bahwa jenazah pelaku maksiat, tetaplah dishalati. Hal ini ditunjukkan oleh perintah Rasulullah SAW kepada para sahabat, ”Shalatilah kawanmu!” (shalluu ‘alaa shaahibikum). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 746).
Namun jika orang yang meninggal karena minum khamr itu sudah tidak mengimani lagi haramnya khamr (QS Al Maa`idah : 90), yaitu telah menghalalkan khamr, misalnya pernah mengucapkan,”Khamr itu bagiku halal dan tidak haram,” maka hukumnya haram menshalatkan jenazah orang tersebut. Sebab dengan ucapannya tersebut berarti dia telah murtad dan menjadi kafir. Padahal Islam telah dengan tegas mengharamkan menshalatkan jenazah orang kafir, sesuai firman Allah SWT (yang artinya), ”Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (TQS At Taubah [9] : 84). (M. Nashirudin Al Albani, Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hlm. 120). Wallahu a’lam.[]
Sumber: Tabloid mediaumat edisi 159