Mediaumat.id – Menjawab pertanyaan apa hukumnya jika ada seorang Muslim yang melecehkan kewajiban khilafah misalnya mengatakan ajaran wajibnya khilafah akan melahirkan generasi teroris radikal, Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menjelaskan begini.
“Muslim yang melecehkan kewajiban khilafah dihukumi sesuai dengan fakta pengucapnya dan maksud perkataannya,” tuturnya di Kajian Fiqih Islam: Hukum Melecehkan Khilafah, Jumat (28/10/2022) melalui kanal YouTube Khilafah Chanel Reborn.
Pertama, Muslim yang melecehkan wajibnya khilafah sedang dia tahu khilafah hukumnya wajib menurut syariah Islam, dan perkataannya pasti tegas dan tak dapat diartikan kepada maksud lain maka tidak diragukan lagi orang itu dihukumi kafir.
Kedua, Muslim yang melecehkan wajibnya khilafah sedang dia tahu khilafah hukumnya wajib menurut syariah Islam namun perkataannya dapat diartikan kepada maksud lain, maka orang itu tidak dihukumi kafir.
Ketiga, Muslim yang melecehkan wajibnya khilafah sedang dia tidak tahu bahwa khilafah hukumnya wajib menurut syariah Islam maka orang itu tidak dihukumi telah kafir baik perkataannya pasti maupun dapat ditakwilkan.
“Tapi meski Muslim yang melecehkan kewajiban Khilafah tidak dikafirkan (jika masuk kategori kedua dan ketiga di atas) dia tetap berdosa besar karena paling tidak dia telah menghina sesama Muslim yang memperjuangkan khilafah. Padahal menghina sesama Muslim telah diharamkan Islam,” ungkapnya.
Kiai Shidiq lalu membacakan Al-Quran surat al-Hujurat ayat 11, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Rincian hukum di atas, jelasnya, digali dari pendapat para ulama dalam kitab Al-Mausuah al-Fiqhiyah yang menyebut melecehkan wajibnya khilafah termasuk perbuatan yang disebut istikhfaaf bi al-ahkam al-syar’iyyah (penghinaan terhadap hukum hukum syariah Islam).
“Para fuqaha telah sepakat barangsiapa menghina hukum-hukum syariah Islam, dalam kedudukannya sebagai hukum syariah, seperti melecehkan wajibnya shalat, zakat, haji, puasa Ramadhan atau melecehkan sanksi-sanksi pidana Islam, misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri, wajibnya hukum dera cambuk bagi pezina dan sebagainya maka orang itu dihukumi telah kafir yaitu sudah keluar dari agama Islam dan wajib dihukum mati jika tak bertaubat kepada Allah SWT,” urainya.
Dalilnya diantaranya adalah firman Allah SWT, dalam Al-Qur’an surah at-Taubah ayat 65-66, yang artinya:
“Katakanlah, apakah dengan Allah, ayat ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf karena kamu telah kafir sesudah beriman.”
Namun, lanjut Kiai Shidiq, para fuqaha memberi catatan perkataan yang dapat memurtadkan pengucapnya ada dua dua macam. Pertama, perkataan yang maknanya pasti tegas (jaazim) atau sharih (terang terangan) yaitu perkataan yang hanya mempunyai satu pengertian dan tak dapat ditakwilkan, diartikan dengan maksud lain (maa laa yahtamilu al ta`wiil).
“Siapa saja yang mengeluarkan perkataan jenis pertama ini misalnya mengatakan Nabi Isa AS adalah anak Allah, atau agama Islam adalah karangan Nabi Muhammad SAW sendiri, dan yang semisalnya dia dihukumi telah kafir,” bebernya.
Kedua, perkataan yang maknanya tidak pasti atau ucapan kinayah (sindiran) yakni perkataan yang memungkinkan lebih dari satu maksud, atau perkataan yang dapat ditakwilkan diartikan dengan maksud lain (maa yahtamilu al-ta`wiil). “Siapa saja yang mengucapkan perkataan jenis kedua ini tak dapat dikafirkan,” terangnya.
Meskipun suatu ucapan mengandung peluang kekufuran 99 persen dan peluang keimanan hanya 1 persen, namun dikuatkan yang 1 persen daripada yang 99 persen karena yang 1 persen itu adalah peluang keimanan.
“Sebab, dengan adanya 1 persen peluang keimanan perkataan kufur dapat ditakwilkan. Karena seseorang tidak dapat dikafirkan dengan perkataannya kecuali dengan perkataan kufur yang pasti,” jelas Kiai Shidiq mengutip pendapat Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nizhamul Uqubat halaman 85.
Sebagai tambahan, ia mengutip pendapat Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam halaman 175, ‘Ketidaktahuan terhadap hukum syariah Islam (al-jahlu bi al-ahkam al-syar’iyyah) dapat menjadi unsur pemaaf (udzur syar’i) jika seorang Muslim dan orang orang yan semisal orang itu (keluarga, teman kolega) memang tidak mengetahui suatu hukum syariah Islam dikarenakan satu dan lain hal,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun