Hukum Jual Beli Busana dari Sudut Pandang Syariah
Mediaumat.id – Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menegaskan, hukum menjualbelikan busana, mengikuti hukum halal haramnya memakai pakaian dimaksud.
“Hukum menjualbelikan busana itu mengikuti hukum halal haramnya memakai busana itu,” ujarnya dalam Kajian Fikih: Hukum Bisnis Busana (Fashion), Jumat (26/8/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Perlu dipahami sebelumnya, ia merasa perlu menjelaskan perkara ini sebab keterkaitannya dengan Citayam Fashion Week (CFW) yang menjadikan kebutuhan tersendiri dalam hal pengadaan atau dengan kata lain bisnis busana.
“Busana itu juga ada skup, pandangan kita yang harus kita lebih besarkan lagi. Yaitu ini menyangkut persoalan budaya atau masalah peradaban,” sebutnya.
Namun sayang umat Islam saat ini tak jarang mengikuti peradaban Barat, khususnya dalam hal bisnis busana. Walaupun di saat bersamaan, ia juga melihat busana Muslimah juga menjadi tren.
Ditambah sekali lagi, dengan adanya CFW, menunjukkan masih banyaknya generasi muda yang terpengaruh oleh budaya Barat. “Ini saya menjadi tertarik untuk mengkaji persoalan bisnis busana ini secara lebih mendalam dalam pandangan syariah,” ujarnya.
Maka itu, lanjut Kiai Shiddiq, terkait hukum jual beli busana yang mengikuti hukum halal haram memakainya, sangat sesuai dengan kaidah fikih yang termaktub di dalam kitab Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 287 karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani yang artinya,
‘Segala sesuatu yang telah diharamkan bagi para hamba-Nya, maka menjualbelikannya haram.’
Sebagai contoh, busana ketat atau transparan. “Syariah Islam mengharamkan wanita Muslimah memakai busana ketat dan transparan dalam kehidupan umum,” terangnya.
Pasalnya, kembali lagi kepada hukum jual beli sesuatu yang mengikut hukum asalnya, sebagaimana keterangan dalam hadits sahih riwayat Muslim berikut ini,
‘Wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang cara berjalannya berlenggak-lenggok menggoyangkan (bahu dan punggungnya) dan rambutnya (disanggul) seperti punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga dan bahkan mereka tidak mencium baunya surga, padahal baunya surga dapat tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian’.
Menjelaskan hadits tersebut, Kiai Shiddiq mengutip tafsirnya seperti yang disampaikan Syekh Nashiruddin al-Albani dalam kitab Jilbab al-Mar`ah al-Muslimah, hlm. 80, yang bunyinya,
‘Wanita-wanita itu berpakaian tetapi sebenarnya telanjang, seperti wanita yang memakai baju yang tipis (transparan) yang dapat memperlihatkan warna kulitnya, atau wanita yang memakai baju yang ketat yang menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya.’
Namun berkenaan busana wanita yang syar’i, yang boleh digunakan dalam kehidupan umum, sambung Kiai Shiddiq, menjualbelikannya menjadi boleh.
“Jadi segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah kepada para hamba-Nya, apakah itu diharamkan memakannya, diharamkan meminumnya, diharamkan memakainya dan keharaman-keharaman yang lain, maka ketika diharamkan, haram menjualbelikan,” ulasnya menegaskan.
Atau setidaknya, menurut Kiai Shiddiq menyimpulkan, ada lima macam busana yang haram dijualbelikan. Pertama, celana pendek untuk laki-laki yang menampakkan aurat laki-laki.
Kedua, busana laki-laki (baju batik, dsb.) berbahan kain sutra murni. Ketiga, pakaian yang menjadi ciri khas kaum kafir. Keempat, busana Muslimah yang transparan (tembus pandang) atau ketat (membentuk tubuh). Dan kelima, baju syuhrah atau kemahsyuran yang dalam bahasa Arab tsiyab asy syuhrah.
“Baju yang menarik perhatian karena tidak umum di masyarakat, baik karena mahalnya atau mewahnya, atau karena buruknya seperti baju model gembel atau gelandangan,” pungkasnya, terkait baju syuhrah.[] Zainul Krian