Mediaumat.id – Membahas hukum atas benda maupun perbuatan dari sudut pandang Islam, Ustaz Ade Sudiana, Lc. menyampaikan, apabila dikembalikan ke akal semata pasti saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
“Kalau hukum itu dikembalikan kepada akal semata, maka tentu penilaian baik dan buruk itu benar-benar akan saling bertentangan antara satu sama lainnya,” ujarnya dalam Kajian Kitab As-Syakhsiyyah al-Islamiyyah, Juz III: Siapa yang Berhak Menentukan Hukum, Senin (5/8/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Artinya, hukum segala sesuatu semestinya kembali kepada syariat. “Itulah yang dinyatakan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an inil hukmu illa lillah, sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah,” paparnya, mengutip QS al-An’am, ayat 57.
Memang benar akal bisa menjangkau baik buruk sesuatu, tetapi sebatas zat dan sifat luarnya saja. Bukan dari sisi pujian atau celaan, pahala maupun dosa, terlebih balasan surga atau sanksi neraka.
Maka atas dasar keimanan kaum Muslim sepakat bahwa semua itu memang harus dikembalikan kepada syariat. Pasalnya baik buruk sesuatu, kata Ustaz Ade sekali lagi, dinilai hanya dari halal atau haram sebagaimana ketentuan syariat.
“Sesungguhnya kaum Muslim sepakat bahwa kita ini harus mengembalikan segala sesuatunya kepada hukum syariat,” tegasnya lagi.
Menurutnya, adalah ahlussunah memandang bahwa sesuatu yang baik adalah apa yang dianggap baik oleh syariat. Dan sebaliknya, yang buruk adalah yang dianggap buruk oleh syariat.
Seperti halnya aktivitas sederhana, makan, yang menurut Ustaz Ade, akal hanya mampu menilai secara zat dan sifat luarnya. Yang apabila dilakukan tentu baik karena memang diperlukan manusia.
Namun apabila perolehan makanan dari mencuri misalnya, maka kata Ustaz Ade, ada kriteria lain terkait hukum yang diberlakukan. Apalagi dilakukan di siang hari bulan Ramadhan oleh seorang laki-laki dewasa yang dalam keadaan tidak sedang safar.
Begitu juga berbohong yang dalam konteks tertentu justru dianjurkan. “Bahkan dibolehkan kaum Muslim dalam peperangan kemudian untuk melakukan untuk membunuh bahkan itu menjadi perkara ibadah yang menjadi puncak dari jihad fisabilillah,” urainya menambahkan.
Perbedaan
Meski demikian, tidak lantas kemudian tak muncul perbedaan seputar hukum boleh tidaknya atas benda dan perbuatan. Maksudnya, diserahkan kepada akal, ataukah semata harus dikembalikan pada wahyu/syariat?
Sebutlah mu’tazilah di samping keberadaan ahlussunah, yang berpandangan syariat hanya menegaskan apa yang dinyatakan baik oleh akal.
Namun begitu, mu’tazilah tidak mengatakan bahwa hukum yang ditentukan oleh akal manusia lebih baik daripada Allah SWT. Tetapi sebatas pembahasan apakah akal manusia bisa menjangkau baik dan buruk sesuatu ataukah tidak.
“Kalau dari zatnya, kalau dari sisi apakah dia itu sesuai dengan fitrah manusia ataukah tidak, sesuai dengan nafsu ataukah tidak, itu bisa manusia menilai,” urai Ustaz Ade.
Menegaskannya, ia pun melansir pernyataan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani. “Syekh Taqiyuddin an-Nabhani ra. dalam kitab Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, jilid ketiga, (menyatakan) bahwa sesungguhnya ini bisa kita urai perdebatan antara mu’tazilah dan ahlussunnah,” kutip Ustaz Ade.
Untuk itu dalam menentukan baik buruk suatu benda ataupun perbuatan, harus melihat dahulu fakta dari keduanya. “Benda ini seperti apa sih? Apakah ini memberikan kemaslahatan ataukah tidak? Memberikan mudharat ataukah tidak?” runtutnya.
Syekh Taqiyuddin pun menerangkan, lanjut Ustaz Ade, bahwa ada poin lanjutan berkenaan dengan hukum atas benda maupun perbuatan, yakni kaitannya dengan pahala dan sanksi. Sebab adakalanya syariat dianggap baik di suatu masa namun tidak di masa yang lain.
“Maka kewenangan untuk menentukan itu semua, tiada lain hanya milik wahyu,” tegasnya.
Penting dipahami, kewenangan dimaksud bertujuan sebagai ujian bagi manusia. “Allah SWT itu memberikan syariat itu sebagai ujian, bahkan dari nabi ke nabi itu banyak sekali syariat yang kemudian diganti,” ungkapnya.
Semisal syariat Nabi Ya’qub yang membolehkan memoligami dua orang bersaudara, tetapi di masa Rasulullah SAW tidak lagi dibolehkan. Bahkan di era beliau SAW, Allah SWT mengganti arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah Masjidiliharam.
Dengan kata lain, di dalam syariat Rasulullah SAW sendiri ada yang disebut dengan hukum yang dihapus (nasakh) dan diganti dengan ketentuan lain.
Dari sini, seorang Muslim semestinya meyakini bahwa Allah Maha Tahu tentang baik buruk segala sesuatu bagi manusia. Yang lantaran itu suatu hukum tidak lantas kemudian diserahkan pada kehendak manusia.
“Sudah terbukti pula ketika hukum itu diserahkan kepada manusia maka manusia itu banyak sekali kepentingan,” tuturnya, menyinggung penerapan hukum saat ini yang makin liberal.
“Karena kepentingannya beda satu sama lain maka tentu hukum yang diterapkan pun sesuai dengan yang memiliki kepentingan,” imbuhnya.
Dengan demikian, jelaslah apabila terjadi pertentangan dalam perkara sekecil apa pun, kata Ustaz Ade, maka kaum Muslim diperintahkan mengembalikan kepada Allah dan rasul-Nya.
“Kalau kalian berselisih dalam satu perkara sekecil apa pun maka kembalikanlah itu kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir,” pungkasnya, menukil QS an-Nisa, ayat 59.[] Zainul Krian