Hukum Bitcoin

Di tengah masyarakat tengah berkembang ‘jual beli’ Bitcoin, sejenis alat tukar pembayaran yang diklaim sebagai ‘mata uang’. Nilai Bitcoin saat ini bahkan melambung 17 kali lipat nilainya dalam setahun belakangan. Ini membuat orang tertarik untuk berinvestasi melalui Bitcoin tersebut.

Sayangnya, banyak orang yang tidak tahu tentang komoditas tersebut. Hanya ikut-ikutan karena tergiur keuntungan berlipat ganda. Sebenarnya seperti apa?

Bitcoin bukan mata uang, karena tidak memenuhi syarat mata uang. Karena mata uang yang diterima dan digunakan oleh Nabi SAW adalah mata uang emas dan perak, yaitu Dirham dan Dinar.

Perlu dicatat, bahwa mata uang Islam ini harus memenuhi tiga syarat penting: (1) Dasar untuk menilai barang dan jasa, yaitu sebagai penentu harga dan upah; (2) Dikeluarkan oleh otoritas yang bertanggung jawab menerbitkan Dirham dan Dinar, dan ini bukan badan yang tidak diketahui [majhul]; (3) Tersebar luas dan mudah diakses oleh khalayak, dan tidak eksklusif hanya untuk sekelompok orang saja.

Berdasarkan tiga kriteria di atas, jelas Bitcoin tidak memenuhi tiga syarat ini. Bitcoin jelas bukan dasar untuk menilai barang dan jasa, yaitu sebagai penentu harga dan upah. Bitcoin juga tidak dikeluarkan oleh otoritas yang bertanggung jawab menerbitkan Dirham dan Dinar, dan ini bukan badan yang tidak diketahui [majhul]. Bitcoin juga tidak tersebar luas dan mudah diakses oleh khalayak, dan tidak eksklusif hanya untuk sekelompok orang saja. Dengan demikian, Bitcoin tidak bisa dianggap sebagai mata uang dalam syariah Islam.

Karena itu, Bitcoin tidak lebih dari sebuah produk. Namun, produk ini dikeluarkan oleh sumber yang tidak diketahui. Ia juga tidak memiliki dukungan. Selain itu, ini merupakan ranah besar penipuan, spekulasi dan kecurangan. Karena itu, tidak boleh memperdagangkannya, yaitu membeli atau menjualnya. Terutama karena sumbernya tidak diketahui [majhul]. Ini menyebabkan keraguan, bahwa sumber tersebut terkait dengan negara-negara Kapitalis utama, terutama Amerika, atau geng yang terkait dengan negara besar dengan tujuan jahat, atau perusahaan internasional besar untuk berjudi, perdagangan narkoba, pencucian uang dan kejahatan terorganisir.

 

Kesimpulannya Bitcoin hanyalah sebuah produk yang dikeluarkan oleh sumber yang tidak diketahui [majhul] yang tidak memiliki dukungan nyata. Karena itu terbuka terhadap spekulasi dan kecurangan. Inilah alasan utama, mengapa tidak boleh membelinya karena bukti Syariah yang melarang penjualan dan pembelian produk majhul yang tidak diketahui. Abu Hurairah berkata, “Rasulullah saw. telah melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli yang mengandung tipuan.” [HR Muslim] Makna “penjualan Hasah” adalah saat penjual pakaian mengatakan kepada pembeli, “Saya akan menjual pakaian di mana kerikil yang saya lempar itu berlabuh.” atau “Saya akan menjual kepada Anda barang yang berlabuh kerikil di atasnya”. Jadi, apa yang dijual tidak diketahui, dan ini dilarang.

“Transaksi gharar” yang tidak pasti, yaitu transaksi yang mungkin terjadi atau tidak, seperti menjual ikan di dalam air atau susu yang belum diperah dari kambing, atau menjual apa yang dibawa oleh hewan hamil dan sebagainya. Itu dilarang karena itu adalah Gharar. Jadi, jelaslah bahwa transaksi gharar atau yang tidak pasti, merupakan kenyataan dari Bitcoin, yang merupakan produk dari sumber yang tidak diketahui dan diproduksi oleh badan tidak resmi yang dapat menjaminnya, hal ini tentu tidak diperbolehkan untuk membeli atau menjualnya. [] LTs

 

Share artikel ini: