Memahami hubungan antar negara adalah hal yang sangat penting. Sebab atas dasar itu tujuan ditentukan, kebijakan diambil dan sikap dibentuk. Dan di atas hubungan inilah dibangun hubungan Amerika sebagai negara pertama dalam konstelasi internasional dengan kerajaan kolonial Inggris, yang bintangnya telah memudar dan kehilangan sebagian besar wilayah jajahannya.
Untuk memahami hubungan antara kedua negara ini, harus disebutkan garis-garis besar berikut:
– Kepentingan negara-negara itulah yang menentukan sifat hubungan di antara mereka.
– Keberagaman negara dipastikan memunculkan perbedaan kepentingan, meskipun ada beberapa kepentingan yang sama. Jika semua kepentingan disatukan, maka negara-negara ini akan dipersatukan dalam satu entitas politik tunggal.
– Sedangkan yang menentukan jenis konflik antar negara adalah keyakinan yang dianut oleh negara-negara tersebut. Sehingga ketika keyakinannya berbeda, maka konflik tersebut menjadi konflik peradaban eksistensial yang tidak akan berhenti sampai menghilangkan yang lain dari keberadaannya, seperti halnya kasus Khilafah Islam dengan negara-negara kafir, sebagai pembuktian kebenaran dari firman Allah subhānahu wa ta’āla:
﴿وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا﴾
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 217).
Seperti yang telah kita lihat dalam kasus Uni Soviet dan blok kapitalis Barat, di mana konflik berlanjut hingga jatuhnya Uni Soviet dan kehancurannya.
Jika kita meninjau realitas Amerika dan Inggris, maka kita menemukan bahwa mereka memiliki ideologi yang sama, yaitu ideologi kapitalisme, yang senantiasa melakukan penjajahan dan perbudakan terhadap bangsa lain, yang memisahkan agama dari kehidupan, dan menjadikan standar perbuatan adalah manfaat semata terlepas dari semua nilai. Sehingga ini yang menjadikan konflik di antara mereka sebagai konflik kompetitif, bukan konflik budaya dan ideologis, yang tujuannya adalah untuk berbagi pengaruh dan tanah jajahan (koloni).
Sejarah mengatakan bahwa Amerika adalah koloni Inggris sampai dilakukan revolusi Amerika dan Inggris diusir darinya. Pada akhir kuartal pertama abad kesembilan belas, Amerika Serikat masih merupakan negara berkembang. Revolusi di Amerika Selatan melawan kolonialisme Eropa telah mencapai titik tertinggi. Sedang revolusi melawan Spanyol khususnya telah berhasil mengusirnya dari Amerika Selatan, sehingga Amerika Serikat merasakan gabungan negara-negara Eropa untuk menolong Spanyol, yang dianggap lebih pantas untuk memperluas pengaruhnya di sana. Pada tahun 1823 Presiden James Monroe mengajukan proposal kepada Kongres yang menyatakan bahwa Amerika Serikat menganggap setiap intervensi Eropa di benua Amerika merupakan tindakan permusuhan yang mengancam keselamatan Amerika Serikat sendiri, sehingga Kongres menyetujui apa yang disebut “Doktrin Monroe”. Dengan kebijakan ini, Amerika memperluas perbatasan pertahanannya ke seluruh bagian benua Amerika, dan mencabut akar dua negara kolonial besar, Spanyol dan Portugal, dari benua Amerika, yang kemudian menggantikannya, hingga Amerika Selatan secara keseluruhan telah menjadi lahan garapannya.
Setelah Perang Dunia II, Amerika melihat bahwa ia adalah pewaris kolonialisme Eropa. Untuk itu, ia mulai berusaha mengusir orang-orang Eropa dari koloni mereka di Afrika dan Asia.
Ketika Rusia merebut Eropa Timur dan Inggris melemah, Presiden Truman mengumumkan pada tahun 1947 kebijakannya tentang Yunani dan Turki, yang kemudian dikenal sebagai “Doktrin Truman”. Kebijakan ini dibuat untuk membantu Yunani dan Turki dalam menghadapi ancaman Soviet. Kemudian Amerika menggantikan Inggris di Yunani dan Turki.
Amerika melanjutkan kebijakannya. Amerika berada di belakang Revolusi Perwira Bebas di Mesir, Muhammad Naguib dan Abdel Nasser, yang oleh penulis Mesir Muhammad Khair Haykal disebut Revolusi Juli Amerika.
Ketika Abdel Nasser menasionalisasi Terusan Suez, terjadi agresi tripartit terhadap Mesir, yang berakhir dengan penarikan Inggris dari Suez. Presiden Eisenhower menyampaikan pernyataannya kepada Kongres pada tanggal 5 Januari 1957 di mana ia mengumumkan kebijakannya, yang disebutnya “Doktrin Eisenhower”, yaitu mengisi kekosongan dengan dalih menghadapi ancaman Soviet agar Amerika dapat menggantikan Inggris. Sehingga kawasan tersebut masuk ke dalam konflik sengit antara Amerika dan Inggris dalam bentuk kudeta militer, seperti kudeta Syukri al-Quwatli di Suriah, kemudian disusul oleh beberapa kudeta, yang terakhir adalah kudeta agen Amerika Hafez Assad, juga kudeta Abdul Karim Qasim di Irak, yang terakhir adalah kudeta Saddam Hussein untuk menstabilkan Irak yang ada dalam kekuasaan Inggris. Sedang Abdel Nasser berperang atas nama Amerika di Yaman untuk mengusir pengaruh Inggris. Hal yang serupa adalah revolusi Mossadegh di Iran, dan yang terbaru adalah revolusi Khomeini Amerika dan pengusiran Inggris darinya. Kemudian memasuki perang Iran-Irak untuk mengakhiri pendudukan Irak dan mengambilnya dari Inggris.
Sementara itu, apa yang kita lihat sekarang di Yaman, Libya, Burma dan di tempat lain adalah bukti konflik berdarah Anglo-Amerika untuk mendapatkan pengaruh.
Amerika telah menggunakan banyak cara untuk menjalankan proyek kolonialnya dan membenarkan perang berdarahnya, termasuk:
– Dalih ancaman Soviet.
– Pinjaman dan bantuan ekonomi.
– Bantuan dan pelatihan militer.
– Membuat berbagai alasan palsu, dari Pearl Harbor, WTC, hingga senjata pemusnah massal yang tidak ada wujudnya di Irak.
– Industri Terorisme.
– Memicu konflik sektarian dan perang saudara.
– Proxy war yang dijalankan oleh para penguasa antek yang setia kepada kaum kafir penjajah, di mana mereka lebih mendahulukan kepentingan kaum kafir prnjajah daripada kepentingan rakyatnya.
Hubungan Amerika-Inggris adalah hubungan dua negara kolonial yang memperebutkan wilayah jajahan. Inggris memanfaatkan kenyataan yang dialami oleh rakyat negara-negara Islam dan kelemahan rezim dalam menghadapi revolusi Arab Spring, juga menyadari krisis yang tengah dihadapi oleh negara-negara kapitalis, terutama Amerika, dari krisis demokrasi dan tumbangnya hingga krisis ekonomi, serta krisis kesehatan yang menunjukkan realitas negara kapitalis dan kegagalan totalnya, juga krisis politik yang melanda struktur masyarakat, yang menyebabkan perpecahan mendalam dan bahaya yang ditimbulkannya.
Kesadaran ini mendorong kelihaian Inggris untuk mengeksploitasi apa yang sedang dialami Amerika. Inggris mulai berharap untuk memulihkan perannya serta kedudukan internasionalnya, sehingga Perdana Menteri Boris Johnson menyajikan dokumen setebal 100 halaman berjudul Global Britain, yang membenarkan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, dan bahwa dia akan membebaskannya untuk bertindak sebagai kekuatan yang fleksibel di panggung internasional, sebagai upaya untuk memulihkan kejayaan masa lalu, dan untuk menciptakan agar tetap eksis di dunia yang berubah dengan cepat.
Siapa pun yang mencermati hubungan Amerika dengan Inggris, maka pasti melihat dualisme sikap Inggris, di mana Inggris sedang dalam konflik pahit dengan Amerika untuk mempertahankan pengaruh di koloninya, sementara pada saat yang sama, Inggris sejalan dengan Amerika dalam menghadapi China dan Rusia, bahkan sedang berusaha untuk mengadakan perjanjian ekonomi dengannya.
Akankah upaya Inggris ini berhasil?
Kembalinya suatu negara ke posisi pionir hanya dapat dilakukan dengan menghadirkan alternatif yang memberikan solusi nyata terhadap krisis dan berbagai masalah yang disebabkan oleh kebijakan kapitalis yang rakus dan brutal, dan ini yang tidak dimiliki oleh Inggris maupun Amerika, setelah tersingkapnya borok demokrasi dan keburukan sistem kapitalisnya, serta kesengsaraan yang tengah menyelimuti dunia.
Sesungguhnya alternatif yang menjamin penyelesaian krisis dan memberikan kebahagiaan bagi umat manusia adalah ideologi Islam, akidah (doktrin) dan perundang-undangan, yang terwujud dalam Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah. Tegaknya kembali Khilafah ini adalah janji Allah subhānahu wa ta’āla, dan kabar gembira (busyra) dari Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallama. Untuk tegaknya kembali Khilafah inilah, hendaknya mereka berjuang mewujudkannya.
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” (TQS. Al-Anfāl [8] : 24). [Syeikh Said Ridwan]
Sumber: www.alraiah.net, 31/04/2021.