HTI Layak Menang

 HTI Layak Menang

Oleh: Umar Syarifudin

Rangkaian sidang gugatan administrasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas pencabutan SK BHP-nya di Pengadilan Tata Usahan Negara (PTUN) dinilai telah dilalui HTI dalam rangka memperjuangkan hak konstitusinya di mata hukum menolak kebijakan tidak adil Pemerintah. Sidang Putusan rencananya akan digelar pada Senin, (7/5/2018).

Sebelumnya, Kuasa hukum HTI Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc. pernah menyebutkan, Kementerian Hukum dan HAM sebagai pihak tergugat tidak dapat membuktikan bahwa HTI bertentangan dengan Pancasila. Bukti pemerintah dianggap lemah semua bahkan bukti pihak tergugat dianggap hanya asumsi-asumsi saja. Adapun fakta hingga persidangan terakhir, pemerintah tak mampu menunjukkan apa kesalahan HTI.

Karena itu, banyak dari kalangan ulama dan umat Islam berpendapat masalah ini merupakan masalah serius bagi kaum Muslim, dan ini menjadi momentum bagi umat untuk bersikap secara jernih dan kritis. Sebagai gerakan dakwah yang santun dan intelek, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah menyampaikan berbagai syiar ajaran Islam, yang kemudian diperlakukan semena-mena dengan di bubarkan begitu saja oleh pihak pemerintah. Perjuangan HTI untuk mendapatkan hak konstitusinya belum tamat, perjuangan untuk membela hak-hak HTI masih belum padam. Publik berharap hukum tidak boleh kalah dengan kesewenang-wenangan.

Sebagai gerakan dakwah yang kritis, pemikiran Hizbut Tahrir ini dapat terlihat dalam upayanya untuk senantiasa melakukan perlawanan terhadap ide-ide dan aturan-aturan tidak pro-rakyat serta penentangannya terhadap ide-ide keliru seperti kapitalisme, liberalisme, komunisme, dll. Semua itu dilakukan dengan berupaya membongkar kerusakannya, menampakkan kekeliruannya, dan menjelaskan solusi hukum-hukum Islam dalam masalah tersebut. Pada saat yang sama, perjuangan  Hizbut Tahrir Indonesia bisa dilihat dalam upayanya menentang neo-imperialisme modern, serta menyajikan berbagai sumbangan solusi dalam rangka melepaskan umat Islam dari belenggu kekuasaan mereka, membebaskan umat Islam dari tekanan dan pengaruhnya, serta mencabut akar-akar pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri muslim.

Sikap tegas tanpa kompromi HTI tampak pada berbagai peran gerakan ini yang memprotes berbagai kebijakan para penguasa yang dianggap menzalimi rakyat; serta melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap penguasa. HTI memiliki iktikad tulus berusaha mengoreksi para penguasa secara lisan dan tulisan apabila mereka melanggar hak-hak umat atau mereka tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, juga apabila mereka melalaikan salah satu urusan umat atau mereka menyalahi hukum-hukum Islam.

HTI selalu mengedepankan berbagai solusi mendasar multi-problem di Indonesia yang digali dari dalil-dalil syariah. Karena itu upaya pelarangan HTI berpotensi menghalangi penyebaran dakwah Islam. HTI sebelumnya telah melakukan berbagai seruan terbuka bahwa sudah negeri ini melepaskan diri dari berbagai kebijakan ekonomi neoliberal—seperti privatisasi, utang luar negeri, pencabutan subsidi, dll—yang nyata-nyata merugikan rakyat banyak. Termasuk mengingatkan masyarakat Indonesia yang kaya-raya akan SDM dan SDA ini diatur oleh sistem yang berbasis syariah, yang akan menjamin kemakmuran, kesejahteraan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat.

Secara konseptual, dengan mudah dan jelas publik mampu menyimpulkan bahwa HTI konsisten menentang pada sistem ekonomi Kapitalisme yang jelas-jelas telah membawa manusia pada kesengsaraan. HTI selalu menyajikan solusi Sistem Islam. Sistem yang menurut HTI hanya mungkin tegak dalam sebuah sistem politik dan pemerintahan Islam. Itulah tawaran sistem Khilafah, yang seharusnya segera diwujudkan oleh kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk oleh kaum Muslim di negeri ini.

Kewajiban menegakkan Khilafah atau mengangkat dan membaiat seorang khalifah adalah kewajiban berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Ini telah dimaklumi oleh para ulama sejak dulu. Menurut Syaikh Abu Zahrah, “Jumhur ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam (khalifah) yang menegakkan shalat Jumat, mengatur para jamaah, melaksanakan hudûd, mengumpulkan harta dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan hakim-hakim yang diangkatnya, menyatukan kalimat (pendapat) umat, menerapkan hukum-hukum syariah, mempersatukan golongan-golongan yang bercerai-berai, menyelesaikan berbagai problem, dan mewujudkan masyarakat yang utama. (Abu Zahrah,Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88).

Pendapat senada juga terdapat dalam beberapa kitab lain, di antaranya:  Fath al-Wahâb bi Syarhi Minhâj ath-Thullâb, II/ 268, Rawdhah ath-Thâlibîn wa Umdah al-Muftin,1/386, Nayl al-Awthâr Syarh Muntaqa al-Akhbâr, XIII/290, Marâtib al-Ijmâ’ , 1/124, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124, Ar-Rais,Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99, Mughni al-Muhtâj ilâ Ma’rifah Alfâdz al-Minhâj (XVI/287); Tuhfah al-Muhtâj fî Syarh al-Minhâj (XXXIV/ 159); Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj(XXV/419); Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umayrah, XV/102). hampir tidak ada seorang ulama pun yang mukhlish, jujur dan amanah, baik salaf maupun khalaf, yang mengingkari adanya Khilafah dan kewajiban untuk mengembalikannya—meskipun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang berhak mendudukinya, dan bagaimana metode perjuangan untuk menegakkannya.

Tidak adanya Khilafah, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, “akan ada fitnah yang sangat besar jika tidak ada Imam (Khalifah) yang mengurusi urusan masyarakat.” (An-Nabhani, Ibid, II/19). Pendapat yang senada dengan pendapat para ulama di atas juga diketengahkan oleh para ulama muktabar lainnya, semisal al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, at-Thabrani, dan Ashhab as-Sunan lainnya; Imam al-Zujaj, Abu Ya‘la al-Fira’, al-Baghawi, Zamakhsyari, Ibn Katsir, Imam al-Baidhawi, Imam an-Nawawi, at-Thabari, al-Qurthubi, Imam al-Qalqasyandiy, dan lain-lain (Lihat: Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, hlm. 26; al-Qalqasyandi, Maâtsir al-Inâfah fî Ma‘âlim al-Khilâfah, I/16; Zamakhsyari,Tafsîr al-Kasysyâf, 1/209; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/70; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, hlm. 602; ath-Thabari,Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, III/277; Ibnu ‘Abd al-Barr, Al-Isti‘âb fî Ma‘rifah al-Ashhâb, III/1150 dan Târîkh al-Khulafâ’, hlm. 137-138, dan lain-lain).

Berkaitan dengan tawaran sistem Khilafah, menurut  Pakar hukum Prof. Dr  Suteki, SH, M.Hum berpendapat mendakwahkan ajaran Islam tidak melanggar hukum. “Sepengetahuan Ahli, khilafah adalah ajaran Islam, yakni sebuah sistem pemerintahan yang berbasis pada hukum syariah. Dakwah HTI dengan demikian seharusnya tidak dapat divonis sebagai gerakan yang telah menyebarkan paham lain yang dianggap hendak mengganti Pancasila,”Ungkapnya sebagai ahli dalam sidang gugatan HTI atas pencabutan SK Badan Hukum Perkumpulannya oleh Menkum dan HAM, Kamis (1/2/2018) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta Timur.

Dr. Ahmad Sastra (Kepala Divisi Riset dan Literasi Forum Doktor Islam Indonesia) berpendapat semestinya pemerintah menghormati gagasan-gagasan yang disampaikan oleh masyarakat dengan cara yang seimbang. Sebab gagasan syariah sebagai solusi yang diemban oleh HTI adalah ajaran Islam itu sendiri. Bukankah penerapan syariah ini telah juga dilakukan di berbagai bidang seperti perbankkan syariah, wisata syariah, asuransi syariah, hotel syariah dan berbagai bidang lainnya. Bahkan Inggris dan Jepang adalah dua negara yang justru mengakui keunggulan sistem syariah ini. Disinilah pemerintah harus tetap tenang dan obyektif melihat kecenderungan dan perkembangan dunia dan melepas diri dari berbagai tekanan negara asing kapitalisme yang secara ideologis bertentangan dengan sistem Islam.

Sebagian pengamat berpendapat adanya upaya menghadang penegakan syariah dengan kekuatan intelektual dan politik. Karenanya, mereka mengamati bahwa pemerintah dengan dalih Perppu Ormas berpotensi menggunakan tangan besi, dengan mencegah tersebarnya dakwah syariah dan khilafah. Adapun pencabutan SK BHP HTI ini diwacanakan seolah-olah untuk kepentingan bangsa dan negara, di saat HTI sedang gencar-gencarnya mengkritisi kebijakan zalim penguasa neolib. Kita mencermati, pada hari ini sudah menjadi rahasia umum, banyak UU yang lahir dari DPR dianggap tidak memihak kepada kepentingan rakyat dan negara, tetapi hanya memuaskan kepentingan parpol, bahkan pihak asing. Contoh: sikap ‘rela’ para anggota Dewan yang menyerahkan begitu saja pengelolaan kawasan kaya minyak Blok Cepu kepada ExxonMobile; pengesahan sejumlah UU bernuansa liberal seperti UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal dll. yang memberikan keleluasaan kepada para kapitalis asing untuk mengeksploitasi sumberdaya alam negeri ini.

Hari ini, HTI telah meyakinkan sebagian umat bahwa Islam adalah sumber pemberdayaan yang nyata bagi kaum muslim, masyarakat semakin memahami bahwa Islam menjadi cara hidup dan seseorang bisa menjadi individu dan umat yang mulia. HTI telah berkontribusi positif untuk Indonesia. Maka pemerintah tidak boleh mengambil keputusan tanpa jelas alasan yuridis, filosofis dan sosiologisnya membubarkan HTI, sehingga dalam Sidang Putusan ke depan, HTI layak memenangkan gugatan.[]

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *