HTI Bukan Organisasi Terlarang (Analisis Putusan PTUN Jakarta)
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. | Koalisi 1000 Advokat Bela Islam
Pada Rabu (09/05/2018) Mata Najwa membuat acara talkshow dengan tema “Melarang Organisasi Terlarang” yang dihadiri berbagai nara sumber, termasuk juga menghadirkan kuasa hukum dan jubir HTI. Tema yang diambil Mata Najwa mungkin saja digunakan untuk memantik ketertarikan publik untuk menyimak acara, namun secara hukum tema yang diambil menyesatkan.
Jika frasa “melarang organisasi yang terlarang” itu disematkan pada HTI, dan konteks acara memang demikian, maka penyesatan opini oleh Mata Najwa dalam tinjauan hukum dapat kita temukan dalam beberapa aspek.
Pertama, tidak ada satupun produk hukum baik berupa UU yang dikeluarkan parlemen (DPR) atau putusan hukum yang dikeluarkan pengadilan yang menyebut dan memberi predikat Hizbut Tahrir sebagai Organisasi Terlarang.
Menyatakan suatu organisasi terlarang memang bisa dilakukan dengan membuat norma hukum produk politik atau melalui keputusan hukum hasil dari putusan pengadilan.
Dalam konteks melarang organisasi berdasarkan keputusan politik melalui lembaga politik yang menelurkan produk hukum, dapat kita jumpai pada kasus pelarangan Partai Komunis Indonesia. PKI dilarang berdasarkan norma hukum berupa produk perundangan yang dikeluarkan oleh lembaga politik, yakni Lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
TAP MPRS No. XXV tahun 1966, tegas dalam klausul pasalnya menyebutkan 3 (tiga) hal:
1. Pertama, Membubarkan PKI
2. Kedua, Menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang
3. Ketiga, Melarang paham atau ajaran yang diusung PKI, yakni marxisme, leninisme, komunisme dan atheisme.
Untuk kasus HTI, tidak ada satupun produk hukum berupa UU yang dikeluarkan DPR yang secara khusus menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang, atau HTI dibubarkan, atau melarang paham dan ajaran Khilafah.
Satu-satunya produk keputusan hukum yang bisa dijadikan acuan menilai secara hukum posisi HTI adalah keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang mengadili sengketa TUN antara HTI melawan Kemenkumham.
Kedua, jika rujukan untuk memberikan label “HTI TERLARANG” adalah putusan hakim PTUN Jakarta, yang dibacakan tanggal 07 Mei 2018, maka baik dalam pertimbangan hukum maupun amar putusan, tidak ada satupun pernyataan hukum yang menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang.
Bahkan, jika melihat konstruksi putusan yang menolak gugatan HTI, hakim eksplisit mengakui legal standing HTI sebagai pihak yang memiliki hak dan wewenang mengajukan Gugatan.
Hakim memberikan pertimbangan bahwa HTI sebagai organisasi memiliki hak dan kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan. Hal mana dapat diketahui, dengan ditolaknya eksepsi Pemerintah (Kemenkumham) yang menuding HTI tidak memiliki legal standing karena telah dicabut status BHP nya.
Jika HTI dianggap tidak memiliki kedudukan hukum, maka pastilah putusan hakim PTUN Jakarta amarnya berbunyi : MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA (niet ontvankelijke verklaard/NO).
Bahkan pasca putusan, HTI sebagai badan hukum juga memilki hak dan wewenang untuk mengajukan upaya hukum, baik banding, kasasi hingga peninjauan kembali.
Jadi jelas, melalui putusan PTUN Jakarta dapat dipahami bahwa HTI bukan organisasi terlarang. Sebab, jika HTI organisasi terlarang, maka pastilah hakim menolak legal standing HTI. Bagaimana mungkin organisasi terlarang bisa mengajukan tuntutan hukum? Bisa mengajukan gugatan ? Bisa mengajukan banding ? Bisa kasasi bahkan hingga PK?
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan secara tegas bahwa HTI adalah organisasi sah dan legal, bukan organisasi terlarang, status BHP nya saja yang dicabut, dan terhadap pencabutan status BHP itu, HTI sedang melakukan upaya hukum banding.
Adapun terkait Khilafah sebagai ajaran Islam, sebagai kewajiban seluruh kaum muslimin, secara hukum tidak bisa dianggap terlarang hanya karena putusan PTUN. Hakim PTUN hanya mengadili objek perkara administrasi, bukan perkara pidana. Maka benarlah sindiran Prof Suteki, SH Mhum, Guru Besar Hukum Undip yang menyebut PTUN telah berubah menjadi PPTUN (Pengadilan Pidana Tata Usaha Negara).
Karenanya pertimbangan hukum putusan hakim PTUN Jakarta selaku peradilan administratif, sepanjang dan yang berkaitan dengan pelarangan ajaran Islam Khilafah, cukuplah untuk dikesampingkan. [].