Hsst… Jangan Ngomongin Khilafah, Nanti Dikira Radikal

Oleh: Lutfi Sarif Hidayat | Direktur Civilization Analysis Forum (CAF)

Sekitar tahun 2009 saya mulai melakukan kajian mendalam, khususnya dengan berbagai pendekatan tentang apa, seperti apa dan bagaimana Khilafah itu. Sebab dalam kajian-kajian tentang peradaban, Khilafah menjadi salah satu yang penting. Pada waktu itu wacana Khilafah belum sebegitu heboh diperbincangkan seperti sekarang khususnya di Indonesia. Sedangkan sekarang wacana itu mencuat, yang kemudian ada sikap penolakan bermunculan, bahkan hingga dari unsur Pemerintahan pun mulai terlihat menolaknya.

Sehingga membuat saya ingin sedikit menyikapi tentang ini, karena situasinya kok menjadi seperti ini. Situasi dimana seperti ada kesalahfahaman tentang Khilafah. Apalagi ketika tahun 2014 ada deklarasi ISIS oleh Abu Bakar Al-Baghdadi yang mengklaim sebagai Khilafah. Dan saya ingat betul. Salah satu pihak yang lantang dan termasuk pertama merespon deklarasi ISIS ini adalah Hizbut Hahrir Indonesia (HTI).

Pada waktu itu saya membaca sendiri pernyataan sikap dan berbagai pandangan resmi dari HTI tentang ISIS, bahwa apa yang ada di sana bukanlah Khilafah, dan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari Islam. Bahkan dalam media-media resmi HTI, dijelaskan jika orang-orang Hizbut Tahrir di sana banyak menjadi korban pembunuhan. Jadi, jika sekarang ada mengkaitkan HTI dengan ISIS, menurut saya itu lucu sekali, aneh dan konyol.

Apa sih kesalahfahaman itu? Menurut saya yang paling utama adalah anggapan bahwa Khilafah adalah faham radikal. Sedangkan terminologi radikal meski memiliki substansi yang netral, namun persepsi masyarakat terhadap istilah ini sudah terlanjur melihatnya sebagai sesuatu yang negatif. Terlebih dengan opini yang terus dipropagandakan oleh media-media. Akibatnya setiap yang distigmakan sebagai radikal, maka sesuatu itu tidak baik atau tidak benar. Apakah saya pro-radikal? Jika radikal yang dimaksud aksi teror atau terorisme, kekerasan dan tindakan melanggar lainnya jelas saya sangat mengecamnya. Saya hanya berbicara dalam konteks Khilafah, bahwa stigma negatif terhadapnya perlu dilihat secara objektif dan mendalam untuk dikaji bersama.

Sebab setelah sekian tahun mengkaji karena memang menjadi tuntutan dalam kajian-kajian seputar peradaban saya tersenyum mendengar stigma negatif tersebut. Sehingga ada kecenderungan sekarang orang semakin takut berbicara atau bahkan menulis tentang Khilafah. Nanti dikira radikal. Padahal secara akademik, kajian bisa dilakukan terhadap apapun.

Lho… Di tengah-tengah masyarakat literasi-literasi tentang komunisme dan faham lainnya yang sudah jelas dilarang juga terjual bebas, terbuka dibaca dan dikaji oleh siapapun. Maka dari sudut pandang ini pembicaraan tentang Khilafah sangatlah wajar, bahkan didorong untuk terus dikaji karena kebutuhan dalam membentuk lingkungan akademik, literasi dan intelektual.

Meski demikian tulisan ini tidak disajikan dalam bentuk kajian literasi. Saya hanya hendak mengungkapkan sedikit pandangan berupa pengalaman-pengalaman kajian tentang Khilafah yang selama ini dikaji secara objektif.

Berdasarkan pengalaman saya Khilafah akan banyak sekali ditemukan dalam berbagai pendekatan. Dalam pendekatan literasi, Khilafah ini bisa ditemukan dalam berbagai karya-karya tafsir Al-Quran, karya-karya syarah (penjelasan) hadits, karya-karya fiqih Islam dan lain sebagainya. Kesimpulan saya Khilafah memang bagian dari Islam karena merupakan salah satu ajaran Islam. Bahkan jika membaca secara utuh dan objektif, pada masa mendatang Khilafah ini akan muncul kembali. Saya yakin umumnya kaum muslimin memahami ini.

Dalam pendekatan sejarah, faktanya Khilafah ini memang ada hingga belasan abad. Dan tidak sedikit sejarawan barat yang mengungkapkan tentang keberhasilan atau kegemilangan ketika Khilafah diterapakan dulu. Silahkan saja dinikmati literasi sejarah yang berkaitan dengan ini dari berbagai macam sudut pandang dan latar belakang penulisnya. Kesimpulannya Khilafah memang ada dalam sejarah Peradaban Islam.

Dengan pendekatan geo-politik tidak kalah menarik. Tidak sedikit lho pemimpin-pemimpin barat, lembaga kajian strategis dari barat membahas tentang Khilafah ini. Sekelas Goerge W. Bush saja sampai begitu perhatian dengan wacana Khilafah ini. Bahkan lembaga sekalas National Intelligence Council (NIC) turut serta memprediksi tentang Khilafah. Kesimpulan saya Khilafah ini memang menjadi ancaman dan sesuatu yang ditakuti oleh hegemoni peradaban barat.

Hegemoni barat, menyebut Khilafah ini sebagai kemenangan dan kebangkitan Islam dan umatnya. Dan ini akan menjadi tandingan dari hegemoni peradaban barat. Sehingga mereka akan sangat berupaya untuk menghalangi atau memperlambat munculnya Khilafah ini. Upaya ini sudah terlihat dengan jelas dengan upaya-upaya seperti stigmatisasi tehadap ajaran Islam sehingga banyak muncul gejala islamphobia. Padahal mereka lupa, bahwa seseorang sekuat apapun bisa menghancurkan bunga-bunga di taman. Akan tetapi mereka tidak akan mampu menghalangi datangnya musim semi.

Kemudian dalam pendekatan teori perubahan sosial. Perubahan itu adalah sesuatu yang wajar. Baik perubahan itu atas keinginan masyarakat atau tidak, tapi pasti akan ada perubahan. Karena doktrin perubahan mengatakan tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Kalimat ini sebenarnya ingin mempertegas bahwa perubahan adalah alamiah.

Artinya ketika kemudian di masa yang akan datang dengan kesadaran ada perubahan di dunia Islam khususnya mengarah pada Khilafah, maka tidak perlu ditakuti. Karena hal ini sangat alamiah, sebagaimana perubahan dari Khilafah ke nation state pada waktu itu. Jadi santai saja.

Kesimpulannya, baiknya semua pihak berdialog secara bijak dan objektif. Jangan karena mempunyai kekuasaan kemudian bisa berbuat seenaknya dengan menutup ruang dialog. Semua ingin agar negeri ini berjalan dengan baik, keadilan, kesejahteraan, ketenangan dan segala hal positif lainnya terwujud. Pasti akan ada titik temu. Lalu apakah saya pro-Khilafah? Memangnya kenapa? Mari berdialog secara cerdas! []

Share artikel ini: