Mediaumat.news – Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) mengungkap vonis 4 tahun yang dijatuhkan kepada HRS ini sebagai bentuk kriminalisasi. “Tidak ada kata lain, bahwa ini adalah kriminalisasi,” tegasnya dalam acara Fokus Live: Vonis 4 Tahun HRS, di Mana Keadilan Hukum? Ahad (27/6/2021) di kanal YouTube UIY Official.
Menurutnya, kriminalisasi itu adalah menganggap sesuatu yang bukan kriminal sebagai kriminal. “Ketika kriminalisasi itu terjadi maka hukum itu tidak berfungsi untuk menegakkan keadilan tapi justru untuk menegakkan ketidakadilan,” ujarnya.
UIY menilai hukum dijadikan alat untuk mempersekusi lawan kekuasaan, untuk mempertahankan kekuasaan dan mengkriminalisasi lawan kekuasaan. “Itulah yang saat ini terjadi,” tandasnya.
Bohongnya di Mana?
UIY heran, bagaimana bisa pernyataan sehat itu dianggap menyebarkan kebohongan? “Pernyataan dirinya sehat adalah pernyataan kondisi yang bersangkutan. Kondisi yang bersangkutan itu tak ada yang lebih tahu kecuali dirinya. Itu adalah hak dirinya karena dirinya yang paling tahu keadaannya,” ujarnya.
Meskipun orang lain menilai berbeda itu hak orang lain, tapi menurutnya, tidak bisa serta-merta pernyataan sehat itu lantas dinyatakan sebagai sebuah kebohongan. “Jikalau itu dianggap kebohongan, juga tidak serta merta dianggap sebagai tindakan pidana,” tegasnya.
Menurutnya, kalau kebohongan itu serta merta dianggap sebagai pidana artinya pengertian ini berlaku umum, sesuai dengan prinsip equality before the law mestinya setiap orang yang melakukan kebohongan itu harus dipidana. “Tapi faktanya kan tidak. Bahkan banyak pejabat termasuk orang nomor satu di negeri ini banyak melakukan kebohongan,” ungkapnya.
“BEM UI baru saja menggelari Pak Jokowi itu sebagai King of Lip Service dengan bukti-bukti sekian banyak ucapan dia yang tidak terbukti yang artinya bohong tapi sampai ini hari kita tidak pernah mendengar bahwa kebohongan itu lalu dipidana. Kebohongan yang dilakukannya tidak dipidana,” tegasnya.
Oleh sebab itu, UIY menilai bahwa ini kriminalisasi yang memang ditujukan kepada Habib. “Sama seperti halnya kasus sebelumnya, yakni kerumunan Petamburan dan Megamendung. Kerumunan itu terjadi karena ada spontanitas di sana lalu itu dinyatakan telah melanggar prokes,” ujarnya.
Kalau betul melanggar prokes dan siapa saja melanggar prokes dipidana, menurutnya, mestinya setiap orang yang melanggar prokes dan menimbulkan kerumunan dipidana. “Seperti ada kerumunan yang dilakukan presiden di NTT, ada kerumunan karena pilkada, ada kerumunan karena undangan pernikahan di Madura sampai 2000 orang itu mestinya juga dipidana. Tapi kan ini tidak,” bebernya.
Onarnya di Mana?
UIY juga mempertanyakan tuntutan jaksa yang menyebut kabar bohong ini yang menimbulkan keonaran. Di dalam dakwaan jaksa yang menyajikan bukti terjadinya keonaran yakni adanya demo kelompok mahasiswa di Bogor dan banyaknya karangan bunga yang dikirim di RS Ummi lalu ada reaksi warganet di dunia maya. “Jadi ini menyangkut apa yang dimaksud keonaran itu? Apa aksi demo dianggap sebagai sebuah keonaran? Inikan masalah,” ujarnya.
UIY menilai aksi demo itu tidak bisa dianggap sebuah keonaran. “Aksi itu satu hal, kecuali aksi yang rusuh itu hal lain tapi tidak serta merta demo itu dianggap sebagai bukti sebuah keonaran, apalagi sekadar karangan bunga, apalagi reaksi seramai apa pun di dunia maya,” tegasnya.
Karena itu, ia melihat ini ada suatu usaha untuk memaksakan dalil-dalil hukum secara tidak proporsional. “Saya tidak ahli hukum. Tapi saya mencoba membaca bahwa ini ada satu pemaksaan. Ketika ada suatu pemaksaan sehingga sampai menabrak kaidah-kaidah hukum makanya saya bisa memaklumi ada banyak sekali ahli hukum yang marah,” ujarnya.
Ia sepakat dengan warganet yang mengatakan untuk membubarkan fakultas hukum karena enggak ada gunanya. “Semua teori-teori itu ditabrak. Saya bisa memaklumi karena faktanya memang begitu dan ini pasti ada sesuatu di balik itu semua,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it