Mediaumat.id – “Menurut hukum positif, islamofobia termasuk perbuatan pidana. Islamofobia bersentuhan dengan delik ‘berita bohong (hoaks)’, ‘penodaan agama’, dan ‘diskriminasi ras dan etnis’. Oleh karena itu, para pelaku islamofobia harus diproses hukum sesuai dengan perbuatan dan kesalahannya,” tutur Ketua Umum HRS Center Dr. Abdul Chair S.H., M.H. kepada Mediaumat.id, Selasa (17/5/2022).
Lantaran itu, lanjutnya, ketakutan yang sangat berlebihan (fobia) terhadap Islam maupun pemeluknya menurut resolusi Majelis Umum PBB harus diperangi. “Merebaknya islamofobia bukan hanya menjadikan umat Islam tidak nyaman, tetapi juga menjadi korban,” tandasnya.
“Pelabelan seperti ‘Islam intoleran’, ‘Islam radikal’ dan ‘Islam teroris’ demikian menyudutkan yang berujung ‘pengasingan’,” tukasnya dengan memberikan contoh pembubaran HTI dan FPI diyakini publik sebagai bentuk pengasingan akibat islamofobia.
“Jika pada HTI, islamofobia menunjuk pada ajaran khilafah, adapun FPI ditujukan terhadap syariat Islam,” tambahnya.
Dr. Abdul Chair mengatakan, eksponen islamofobia menganggap, baik HTI maupun FPI berbahaya bagi eksistensi Indonesia. Keduanya dituduh ingin mengubah atau mengganti Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. “Ketika HTI dibubarkan, saya pernah mengatakan bahwa pembubaran HTI sebagai entry point pembubaran FPI dan ternyata itu benar terjadi,” ungkapnya.
Menurutnya, khilafah dan syariat Islam ibarat dua sisi mata uang yang sama. Keduanya dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Keberlakuan syariat Islam tentunya memerlukan sosok khalifah. Kekhalifahan itu sendiri diadakan berdasarkan syariat Islam.
“Dengan demikian, maka kekuasaan khalifah harus berlandaskan pada syariat Islam. Seorang khalifah dalam menjalankan kekuasaannya tunduk dan patuh pada perintah Allah SWT dan mengikuti petunjuk Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, legitimasi kekhalifahan menunjuk pada Al-Qur’an dan hadits. Jadi apabila ada umat Islam yang mencela atau menyerang kekhalifahan, maka patut diragukan keimanannya,” simpulnya.
Berita Bohong
“Mengidentikkan ajaran khilafah dengan radikalisme (benih terorisme) termasuk perbuatan penyiaran berita atau pemberitahuan bohong. Setidak-tidaknya menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap,” ungkapnya sambil menjelaskan,
Perbuatan dimaksud diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Pernyataan demikian juga bersentuhan dengan delik penodaan agama. Perbuatan dimaksud diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHPidana.
Tidak berhenti sampai di sini, ujar Abdul Chair, pernyataan radikalisme pada seseorang yang menyampaikan ajaran khilafah melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Tepatnya pada Pasal 4 huruf b angka 2, yang menyebutkan, ‘Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan: berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain.’
Frasa ‘kata-kata tertentu’ termasuk di dalamnya pernyataan mempersamakan khilafah dengan suatu sifat yang tercela semisal radikalisme sebagai benih terorisme,” jelasnya.
“Ketiga, undang-undang yang disebutkan di atas menjadi dasar (legalitas) proses penegakan hukum bagi pelaku islamofobia,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
.