Mediaumat.id – “Islamofobia merupakan hasil kerja ideologi politik global guna kepentingan hegemoni dan dominasi kaum anti-Islam,” tutur Ketua Umum HRS Center Dr. Abdul Chair S.H., M.H. kepada Mediaumat.id, Ahad (15/5/2022).
Menurutnya, berbagai deskripsi memperlihatkan ekspresi kebencian terhadap Islam yang demikian overdosis. “Islamofobia tidak akan pernah mengakui kebenaran absolut syariat Islam dengan universalitasnya,” tegasnya.
Ia menyebut, pembentuk islamofobia sesungguhnya sadar akan superioritas syariat Islam. Islamofobia dimaksudkan untuk mendiskreditkan umat Islam agar terjadi transformasi syariat Islam yang berujung inferiori. Syariat Islam hendak dinegasikan dalam ekonomi politik global. Oleh karena itu transplantasi pikiran global ditanamkan ke dalam pikiran para komprador,” ungkapnya.
Komprador inilah, lanjutnya, yang menjadi eksponen terdepan islamofobia di suatu negara, termasuk Indonesia.
Dr. Abdul Chair menilai, masifnya agitasi ditujukan guna membentuk pikiran secara salah di masyarakat. Eksponen terdepan islamofobia menebar berita hoaks, provokasi yang di dalamnya sarat dengan kebencian dan adu domba. Islam dilabelkan sebagai suatu ancaman terhadap kebebasan, kesetaraan, demokrasi, individualisme, hak asasi manusia, dan lain sebagainya.
“Islamofobia yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh global, regional maupun nasional. Kesemuanya itu saling berhubungan yang pada akhirnya membentuk titik ekuilibrium. Suatu kondisi terbentuknya pemufakatan jahat antara penerima manfaat (aktor global) dengan komprador islamofobia,” bebernya.
Pemufakatan jahat nilainya, menunjuk pada tujuan menempatkan syariat Islam di bawah hukum positif. Kedaulatan Tuhan digantikan dengan kedaulatan rakyat yang dioperasionalkan secara semu, untuk tidak mengatakan palsu. Produk hukum semakin menimbulkan mudarat, para pejabat ingkar amanat dan rakyat menghamba pada korporat.
“Pada akhirnya aktor global mampu menjadikan negara merdeka sebagai negara satelit. Demikian itu memang telah direncanakan sejak lama guna sistem global dalam tatanan dunia baru (novus ordo secrolum),” simpulnya.
“Pengendali sistem global ini tiada lain adalah dajjal. Pastinya si “mata satu” ini akan muncul pasca Al-Malhamah al-Kubra (Barat: Armageddon). Sudah demikian banyak para pakar menyampaikan hal demikian,” terangnya.
Terkait dengan novus ordo secrolum yang dicirikan dengan globalisasi (liberalisasi ekonomi), kata Dr. Abdul Chair melanjutkan, maka kondisi saat ini menunjukkan bahwa kedaulatan negara semakin pudar. Peran negara telah tergantikan dengan aktor nonstate (bukan negara). Oligarki ekonomi dan politik memiliki posisi dominan yang terhubung dengan kepentingan global.
“Sejalan dengan itu, peranan agama Islam semakin mendapatkan tekanan dengan menguatnya paham sekularisme. Di sisi lain persekusi dan kriminalisasi dilakukan klasterisasi. Penerapannya demikian terstruktur, sistemik dan masif,” bebernya.
Klasterisasi hukum dimaksudkan terhadap pihak yang berseberangan dengan pemangku posisi dominan. Demikian itu semakin mengokohkan upaya penegasian syariat Islam. Untuk kepentingan itu eksponen terdepan islamofobia menjalankan agenda global.
Agenda global dimaksud adalah mencegah kebangkitan Islam. “Tegasnya memutus peta jalan sistem pemerintahan yang dicontohkan oleh Khulafaur Rasyidin,” paparnya sambil mengungkap ketidakheranannya jika Islam selalu digambarkan sebagai ancaman lipat tiga: ancaman politik, ancaman peradaban, dan ancaman demografi.
“Kemudian memberikan stereotip yang menggeneralisasi seperti, ‘Islam fanatik’, ‘Islam militan’, ‘Islam fundamentalis’, ‘Islam teroris’, dan seterusnya,” tambahnya.
Menurutnya, Fukuyama dan Huntington pernah meramalkan Islam akan menjadi musuh bebuyutan Barat. “Terlepas asumsi tersebut diterima atau tidak, namun yang jelas ada ketakutan (fobia) terhadap kebangkitan Islam kelak di akhir zaman,’ tukasnya.
Ia juga menegaskan, kekhalifahan Islam di bawah komando Imam Mahdi akan menghancurkan kaum kafir dan zionis Israel. Dajjal akan dieksekusi oleh Nabi Isa as. “Saat itulah terjadi benturan yang demikian dahsyat. Bukan benturan peradaban (clash of civilizations) sebagaimana dikatakan Huntington, akan tetapi puncak benturan antara yang hak dan batil. Antara hak dengan batil tidak akan mungkin bersatu,” prediksinya sambil memberikan argumen karena hak itu berpihak kepada Allah, sementara batil berpihak kepada musuh-musuh Allah.
“Pada akhirnya episode islamofobia yang koheren dan direksional dengan evolusi ideologi manusia akan berakhir (the end of history). Syariat Islam akan kembali berdiri tegak, setegak-tegaknya. Pembentuk dan eksponen islamofobia yang berdiri di belakang dajjal terlaknat akan hancur, sehancur-hancurnya (the last man),” simpulnya menutup penuturan.[] Irianti Aminatun