HRS Center: Ada Kesesatan Berpikir dan Cacat Hukum dalam Kasus Penangkapan Aktivis

Mediaumat.news – Ketua Umum HRS Center Dr. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. menyebutkan adanya kesesatan berpikir dan kecacatan penerapan hukum pidana dalam kasus penangkapan aktivis yang kritis terhadap pemerintah.

“Ada kesesatan berpikir dan mengarahkan tuduhan pada pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Praktek penerapan hukumnya pun tidak sesuai,” ujarnya pada acara Fokus: Omnibus Law, Titik Nadir Demokrasi? di akun Youtube Fokus Khilafah Channel, Senin, (19/10/2020).

Ia menyebutkan bahwa dalam kasus penangkapan ini, tersangka dijerat dengan UU ITE pasal  45A ayat 2 Pasal dan 28 Ayat 2. Namun, dalam pasal tersebut terdapat frasa menimbulkan kebencian atau permusuhan yang didasarkan pada suku atau ras, atau agama, atau antar golongan. Yang berarti, deliknya bersifat materil.

“Harus ada dulu akibat timbulnya kebencian. Jadi harus ada korbannya, baik itu suku mana yang dibenci, agama mana yang dibenci, ras mana yang dibenci dan antar golongan mana yang dibenci,” ujarnya.

Menurutnya, yang jadi pertanyaan apakah pemerintah masuk dalam kategori tersebut? Kalaupun dianggap sebagai antar golongan pada pasal 156 dan 157 KUHP telah dijelaskan definisi dari antar golongan ini.

“Pemerintah tidak termasuk dalam korban ujaran kebencian atau permusuhan,” tegasnya.

Kemudian, terkait penangkapan, Dr. Abdul menyebut adanya praktek hukum yang tidak sesuai.

MK menetapkan untuk menjadikan tersangka harus ada pemeriksaan pendahuluan sebagai calon tersangka dan harus ada minimal 2 alat bukti. Namun, semisal dalam kasus Syahganda Nainggolan, prosedur tersebut seolah di by pass oleh aparat.

“Saya bingung, contoh penangkapan Syahganda Nainggolan dilakukan pada tanggal 12 Oktober. Surat perintah penyidikan sama dengan tanggal penangkapan, ditangkap pada pukul 00.04 pada tanggal yang sama. Padahal, surat perintah penyelidikan dikeluarkan jam 00.00. pertanyaannya apakah ada pemeriksaan saksi? Pemeriksaan ahli? Apa mungkin dilakukan pemeriksaan pada dini hari? Kan aneh!?” ungkap Dr. Abdul

Kemudian tuduhan bahwa berita yang disebar tersangka menyebabkan kerusuhan yang menyebabkan aksi anarkisme dan perusakan tidak dapat dibuktikan secara objektif. Terkait penerapan pasal yang disangkakan. Disebutkan alasannya adalah pasal 14 ayat 1 ayat 2, pasal 15 UU no 1 tahun 1946 terkait peraturan hukum pidana. Khusus pasal 14 ayat 1 harus ada keonaran atau kerusuhan di tengah masyarakat secara nyata, bukan di dunia maya.

Maka, menurutnya, mesti ditilik kembali bagaimana sebenarnya peristiwa ini terjadi. “Kerusuhan terjadi tanggal 15, sedangkan pesan WhatsApp itu tanggal 10. Harusnya korelasi antara berita bohong yang disebar dengan keonaran di masyarakat harus dibuktikan. Dan harus dibuktikan adanya kesengajaan dan mengetahui akibatnya. Sayangnya, dalam pengadilan adanya kesengajaan tersebut tidak bisa dibuktikan secara objektif. Sehingga, unsur kesalahan yang menyebabkan pidana tidak terpenuhi. Ini adalah sebuah kecacatan dalam penerapan hukum pidana,” pungkasnya.[] Billah Izzul Haq

Share artikel ini: