HILMI: Indonesia Harus Lakukan Revolusi pada Kedaulatan Teknologi
Mediaumat.info – Terkait Indonesia yang semakin tertinggal jauh dengan Cina dalam bidang teknologi, Pembina Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Prof. Dr.-Ing Fahmi Amhar menghimbau Indonesia agar melakukan revolusi pada kedaulatan teknologi.
“Ya, ini memang harus ada revolusi, saya kira ya reformasi enggak cukup,” ujarnya dalam Kabar Petang: Ternyata Ini Alasan Indonesia Masih Jadi Negara Konsumen Teknologi, Kamis (8/8/2024) di kanal YouTube Khilafah News.
Adapun revolusi tersebut, kata Fahmi, mengacu pada tiga hal dan ini yang juga terjadi di Cina.
Pertama, revolusi pada budaya kolektif. “Kita ini banyak terlalu terlalu menghargai pada orang-orang yang begitu cepat, begitu instan, meraih kekayaan bahkan sekarang meraih gelar, orang ingin meraih gelar profesor dengan instan, doktornya juga enggak jelas dari mana tiba-tiba jadi profesor,” tuturnya.
Jadi, katanya, budaya instan ini harus diubah, diganti dengan budaya kerja keras, budaya tekun, budaya disiplin.
Kedua, teladan dari para tokoh. Menurutnya, ini berkait juga dengan populer culture, dengan mempopulerkan teladan-teladan yang positif termasuk mempopulerkan kalau ada produk-produk budaya, misal: ada sinetron ada film itu yang diekspos itu yang meningkatkan cara berpikir yang lebih baik, cara berpikir rasional ilmiah, cara berbudaya yang lebih tekun.
Jadi, ujarnya, bukan mengekspos selingkuhan, mengekspos orang yang kaya mendadak yang sekarang di televisi dan YouTube yang paling banyak like-nya itu.
Ketiga, peran negara. “Dan ini yang terjadi di Cina, jadi di Cina itu selain ada adopsi teknologi yang cepat dari rakyatnya itu termasuk budaya, mereka cepat sekali mengadopsi e-commerce, transportasi berbasis aplikasi itu sangat cepat itu, itu juga dapat dukungan pemerintah itu luar biasa di Cina. Itu ada dukungan pemerintah pada program nasional seperti made in China 2025,” jelasnya.
Padahal, lanjutnya, made in China 2025 itu digaungkan sejak 20 tahun yang lalu dan ini yang menjadikan Cina itu pemimpin global bidang teknologi maju.
“AI robotic, kemudian juga Cina itu berinvestasi besar dalam reset and development, penelitian dan pengembangan sangat besar, jadi Cina mendorong BUMN mereka kayak Huawei ataupun yang swasta-swasta kayak Alibaba itu mengalokasikan dana yang besar untuk inovasi,” tuturnya.
Jadi, ujarnya, beberapa birokrasi yang mampet dihapus sama pemerintah Cina. “Jadi, kalau kita mau meniru kecepatan Cina membangkitkan teknologi, ya seperti ini ya, ditiru ya jangan sekadar meniru yang jelek-jeleknya,” bebernya.
Kemudian juga, bebernya, Cina itu fokus pada peningkatan atas pendidikan terutama pendidikan STEM (Sains Teknologi Engineering dan Matematika).
“Kalau saya usulkan ditambah R dan A, STREAM. R-nya itu religion, A-nya itu arts, seni ya, karena teknologi kalau tidak diberi sentuhan seni juga nanti terlalu kaku enggak nyaman,” bebernya.
Kemudian juga, lanjutnya, kebijakan dari negara Cina itu ketika ada perusahaan asing investasi itu terbuka tapi mereka (perusahaan asing) harus bekerja sama sampai ke level supply chain-nya.
“Jadi, misalkan Tesla mau bikin mobil listrik di Cina, itu komponen-komponen mobilnya itu juga diwajibkan bikin di Cina. Ditunjuk perusahaan-perusahaan kecil UKM-nya Cina untuk memproduksi spionnya atau rodanya atau apa begitu, sehingga Cina itu punya target, ini tidak selamanya Tesla akan berada di Cina, suatu hari nanti ganti apa, Tesla kita gantikan dengan semua yang buatan Cina dan ketika mereka membuat itu itu suplainya sudah siap gitu. Jadi, enggak made in China tapi komponennya masih impor semua seperti itu yang dilakukan,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi