Hikmah Perjanjian Damai

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

 

Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan korban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang Mukmin dan perempuan-perempuan yang Mukmin yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yag kafir di antara mereka dengan azab yang pedih (TQS al-Fath [48]: 25).

 

Dalam beberapa ayat sebelumnya diberitakan bahwa Allah SWT menahan tangan kaum musyrik menyerang kaum Mukmin. Demikian juga sebaliknya,tangan kaum Mukmin pun ditahan untuk menyerang kaum musyrik.

Ayat ini kemudian menerangkan bahwa sesungguhnya kezaliman yang telah dilakkuan kaum kafir Makkah terhadap Rasulullah SAW dan kaum Muslimin sesungguhnya sudah layak untuk diperangi. Akan tetapi, ada sebab lain yang membuat tangan kaum Muslimin ditahan tangannya untuk memerangi kaum musyrik.

 

Kezaliman Orang Musyrik

Allah SWT berfirman: Hum al-ladzîna kafarû wa shaddû ‘an al-Masjid al-Harâm (merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari [masuk] Masjidil Haram).     Ayat ini masih membicarakan tentang peristiwa seputar Hudaibiyyah. Pada tahun itu, Rasulullah SAW dan kaum Muslimin berangkat dari Madinah ke Makkah untuk menunaikan umrah. Namun belum sampai masuk kota Makkah, mereka dihadang oleh orang-orang musyrik Makkah. Untuk menghidari mereka, Rasulullah SAW pun mengalihkan rute perjalanan hingga sampai di sebuah tempat bernama Hudaibiyyah. Di daerah itulah mereka tertahan. Di tempat itu pula disepakati Perjanjian Hudaibiyyah yang di antara isinya melarang Rasulullah SAW dan kaum Muslimin menunaikan umrah pada tahun itu. Mereka baru diperbolehkan menunaikan umrah pada tahun depan. Itu pun dibatasi waktunya, hanya boleh tinggal di Makkah selama tiga hari. Di samping itu, mereka tidak diperbolehkan untuk membawa senjata kecuali pedang yang disarungkan.

Oleh karena itu, orang-orang yang kafir yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang kafir Makkah. Sedangkan dhamîr mukhâthab (kata ganti orang yang diseru) adalah Rasulullah SAW dan kaum Muslimin yang ikut bersama beliau hendak menunaikan umrah. Mereka dicegah dan dihalangi oleh orang-orang musyrik Makkah untuk memasuki Masjid al-Haram.  Itu terjadi pada tahun Perjanjian Hudaibiyyah. Demikian penjelasan banyak mufassir tentang ayat ini.

Kemudian disebutkan: wa al-hady ma’kûf[an] an yablugha mahillahu (Dan menghalangi hewan korban sampai ke tempat [penyembelihan]nya). Tak hanya menghalangi Rasulullah SAW dan kaum Muslim memasuki Masjid al-Haram, mereka juga menghalangi al-hady untuk masuk ke tempat penyembelihannya. Al-Hadyu adalah hewan kurban jamaah haji. Penyembelihannya harus dilakukan di tanah Haram. Tidak boleh disembelih di luar tanah Haram. Di antara dalil yang mendasarinya QS al-Hajj [22]: 33.

Oleh karena itu, ayat ini memberitakan bahwa orang-orang kafir Quraisy itu menghalangi Rasulullah SAW dan pengikutnya masuk ke tanah Haram, yang menjadi menjadi tempat sembelihan hewan kurban.

Dan itulah yang terjadi pada saat itu. Orang-orang musyrik Makkah menghalangi Rasulullah SAW dan umat Islam yang hendak masuk Makkah. Mereka tertahan di Hudaibiyyah hingga perjanjian ditandatangani. Akhirnya, di tempat itu juga Rasulullah SAW mencukur rambutnya dan menyembelih hewan kurbannya. Tindakan beliau pun diikuti oleh orang-orang Muslim yang bersama beliau. Setelah itu, mereka pulang kembali Madinah.

 

Hikmah

Setelah memberitakan tentang kejahatan kaum musyrik Makkah terhadap Rasulullah SAW dan kaum Muslimin yang bersama, kemudian Allah SWT berfirman: Walawlâ rijâl mu`minûn wa nisâ` mu`minât lam ta’lamûnahum fatushîbakum minhum ma’arrah bi ghayri ‘ilm (dan kalau tidaklah karena laki-laki yang Mukmin dan perempuan-perempuan yang Mukmin yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu [tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka]).

            Diterangkan Abdurrahman al-Sa’di, semua kejahatan orang-orang kafir Makkah di atas –yakni menghalangi kaum Mukmin untuk memasuki Masjid al-Haram dan hewan korban memasuki tanah haram—merupakan tindakan yang mewajibkan dan mendorong untuk memerangi mereka. Akan tetapi, itu dilarang disebabkan adanya orang-orang Mukmin di tengah-tengah orang musyrik dan tidak bisa memisahkan hunian dan tempat mereka sehingga tidak mengenai mereka –maka seandainya tidak ada laki-laki atau perempuan Mukmin yang tidak mereka ketahui—maka kalian akan menyerang.

Mereka menyembunyikan keimanan mereka disebabkan oleh kelemahan mereka. Karena tidak diketahui, maka an tath`ûhum (kamu menyerang mereka, yakni orang-orang Mukmin yang tidak kamu ketahui) dengan melakukan pembunuhan dan penyerangan. Padahal membunuh seorang Muslim merupakan sesuatu yang terlarang. Namun karena ketidaktahuan, maka tindakan tersebut dilakukan. Akibatnya, fatushîbakum ma’arrah bi ghayiri ‘ilmi (menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu).  Demikian penjelasan al-Syaukani dalam tafsirnya.

Secara bahasa, kata ma’arrah bermnakna al-‘ayb (aib, cela, dan cacat). Di ambil dari kata al’arr yang berarti al-jarab (cacat, cela). Yang demikian itu karena orang-ornag musyrik akan mengatakan, “Orang-orang Muslim telah membunuh sesama pemeluk agama mereka.”

Dalam konteks ayat ini, ada beberapa penjelasan tentang maknanya. Menurut al-Syaukani, bermakna masyaqqah (kesulitan) disebabkan karena harus membayar kafarah dan mendapat aib lantaran membunuh mereka. Ibnu Katsir menafsirkannya itsm wa gharâmah (dosa dan denda yang harus dibayar). Sebab, membunuh seorang Mukmin dari kalangan musuh diwajibkan membayar kaffarah berupa membebaskan budak Mukmin (lihat QS al-Nisa [4]: 92).

Penyebutan bi ghayri ‘ilm (tanpan pengetahuan), menurut Imam al-Qurthubi merupakan penghormatan kepada para sahabat sekaligus pemberitahuan tentang sifat mereka yang mulia. Yaitu, senantiasa memelihara diri kemaksiatan dan pelanggaran. Kalau pun salah seorang dari mereka melakukannya, itu terjadi karena ketidaksengajaan.

Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: Liyud-hilaL-lkâh fîrahmatihi man yasyâ` (supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya). Ini faedah lain larangan memerangi orang musyrik pada saat itu.

Diterangkan juga oleh al-Qurthubi, bahwa Allah SWT tidak mengizinkan kalian memerangi orang-orang musyrik, agar orang-orang yang ditentukan masuk Islam dari kalangan Makkah dapat memasukinya setelah perdamaian itu. Demikianlah, kebanyakan di antara mereka memang masuk Islam dan memperbaiki keislamannya, dan mereka akan masuk ke dalam rahmat-Nya. Yakni, surga-Nya.

            Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Walaw tazayyalû la’adzdzabnâ al-ladzîna kafarû minhum ‘adzâb[an]alîm[an] (sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yag kafir di antara mereka dengan azab yang pedih). Kata al-tazayyul berarti al-tamayyuz (membedakan, memisahkan). Sehingga ayat ini bermakna: Seandainya orang-orang yang beriman terpisah dari orang-orang kafir, niscaya Kami akan mengazab orang-orang kafir.

Demikianlah. Perjanjian Hudaibyyah memiliki hikmah yang besar. Jika dibaca sekilas, mungkin ada yang menganggap itu kekalahan bagi Umat Islam. Betapa tidak, mereka berangkat dari Madinah ke Makkah bertujuan untuk menunaikan umrah. Untuk itu, sebagian mereka sudah membawa hewan kurban. Akan tetapi, tujuan mereka tidak terlaksana pada tahun itu. Bahkan sekadar masuk di tanah haram pun tidak diperbolehkan oleh orang-orang musyrik. Sebenarnya, sudah layak bagi mereka untuk memerangi kaum musyrikin itu. Tetapi, Allah SWT menahan tangan mereka. Demikian juga sebaliknya, Allah SWT menahan tangan kaum musyrik memerangi mereka. Semua itu terdapat hikmah yang besar. Hikmah inilah yang diterangkan ayat ini. Bahwa yang terjadi sesungguhnya bukan kekalahan bagi umat Islam. Umat Islam justru menangguk banyak kemenangan dalam perjanjian damai tersebut. WaL-lâh a’lam bi al-shawâb.

 

Ikhtisar:

  1. Tindakan kaum musyrik yang menghalangi umat Islam untuk memasuki Masjid al-Haram dan memasuki tanah haram untuk menyembelih hewan kurban adalah kejahatan yang layak diperangi
  2. Allah SWT menahan tangan kaum Muslimin untuk memerangi orang-orang musyrik
  3. Larangan tersebut mengandung hikmah: (1) terbunuhnya orang Mukmin yang tidak diketahui keislamannya; (2) memberikan kesempatan bagi sebagian orang untuk memilih Islam

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 208

Share artikel ini: