[Buletin Kaffah No. 155, 01 Muharram 1442 H/21 Agustus 2020 M]
Pada bulan Agustus ini kaum Muslim di seluruh dunia menyambut kedatangan tahun baru Hijrah 1442. Berdekatan dengan peringatan kemerdekaan negeri ini yang ke-75.
Awal perhitungan kalender Hijrah diusulkan oleh Sahabat Umar bin al-Khaththab ra., yakni dimulai dari peristiwa hijrah kaum Muslim bersama Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah.
Banyak alasan mengapa permulaan kalender Hijrah dimulai dari momen hijrah. Salah satunya, berkat hijrahlah Islam dapat tersebar luas ke seluruh dunia, memberikan pembebasan dan kemerdekaan hakiki bagi umat manusia.
Islam Agama Pembebasan
Jauh sebelum kedatangan Islam, umat manusia berada dalam cengkeraman perbudakan sesama manusia. Secara politik, dua negara adidaya, Persia dan Romawi, mendominasi berbagai wilayah di Barat maupun Timur. Kedua kerajaan besar itu menjajah dan mengeksploitasi daerah-daerah yang berada dalam kekuasaan mereka; memperbudak dan menyiksa penduduk aslinya, menguras harta mereka dan merusak moralnya.
Pada sisi lain, peradaban manusia diperbudak hawa nafsu. Tolak ukur benar dan salah, terpuji dan tercela adalah hawa nafsu manusia. Di Persia, misalnya, berkembang ajaran Mazdak yang menganggap harta dan wanita sebagai air dan rumput; menjadi milik umum boleh dimiliki siapa saja. Akibatnya, perampokan dan perzinahan serta pemerkosaan marak di sana.
Di bidang peribadatan, manusia menyembah berhala, alam, manusia juga binatang. Di Mesir, Firaun dipuja dan disembah sebagai Tuhan. Di Romawi para kaisar dianggap sebagai titisan dewa. Titah para raja dan kaisar pun dianggap sebagai perintah Tuhan yang tak boleh dilawan.
Pada masa demikian, Islam datang sebagai risalah yang mulia, membebaskan dan memerdekakan umat manusia. Misi pembebasan dan kemerdekaan yang diberikan Islam salah satunya tercermin dari pernyataan Rib’i bin Amir at-Tamimi ra.
Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya, Al-Bidayah wa an-Nihayah, dalam bab Perang Qadisiyah menceritakan kedatangan Sahabat Nabi saw. selaku utusan pasukan Islam, Rib’i bin Amir at-Tamimi ra. Ia menemui Rustum, Panglima Perang Persia. Di hadapan Rustum ia berkata, “Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada sesama hamba menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju keluasannya; dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.”
Penjelasan Rib’i bin Amir at-Tamimi ra. adalah kenyataan. Umat manusia mendapatkan pembebasan dan kemerdekaan hakiki hanya dalam Islam. Bangsa Arab yang semula penyembah berhala, terbagi menjadi beberapa kelas sosial; bangsawan, rakyat jelata dan budak. Oleh Islam mereka diubah menjadi umat bertauhid dan setara kedudukannya di antara di hadapan Allah SWT. Abdullah bin Mas’ud ra. adalah seorang dhuafa dan penggembala kambing. Bilal adalah mantan budak Habsyah. Keduanya sejajar dengan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dan Abdurrahman bin Auf ra. yang bangsawan dan saudagar.
Penyembahan kepada selain Allah SWT pun dihapuskan selamanya. Selain Allah SWT, semuanya adalah mahluk yang Dia ciptakan. Allah SWT berfirman:
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam (TQS al-A’raf [7]: 54).
Ajaran tauhid yang dibawa Islam telah menghilangkan penghambaan kepada sesama mahluk yang tak pantas dipertuhankan.
Merdeka dari Hukum Manusia
Dengan Islam pula manusia dibebaskan dari penghambaan pada aturan yang datang dari hawa nafsu manusia. Pada masa jahiliah, aturan biasanya dibuat oleh para raja dan para rahib. Hukum-hukum yang mereka buat kerap menyengsarakan kehidupan umat manusia sendiri, seperti membunuh bayi perempuan, melacurkan para budak wanita, praktek riba, dsb. Para bangsawan, raja dan para rahib itulah yang menentukan halal dan haram, baik dan buruk. Allah SWT berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan para pendeta mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah (TQS at-Taubah [9]: 31).
Ayat ini ditafsirkan dengan Hadis Rasulullah saw. saat membacakan ayat kepada Adi bin Hatim, yang saat itu masih beragama Nasrani. Adi bin Hatim berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidaklah menghambakan diri kepada mereka (menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan kami, red.).” Namun, Rasulullah saw. bersabda:
أَلَيْسَ يُحَرِّمُونَ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فَتُحَرِّمُونَهُ وَيُحِلُّونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ، فَتَسْتَحِلُّونَهُ؟
Bukankah mereka telah mengharamkan apa saja yang telah Allah halalkan, lalu kalian pun mengharamkannya; mereka pun telah menghalalkan apa saja yang telah Allah haramkan, lalu kalian juga menghalalkannya?”
Adi bin Hatim berkata, “Benar.” Lalu Rasulullah saw. bersabda:
فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ
“Itulah bentuk penghambaan/ibadah mereka (kepada para pendeta dan rahib mereka).”
Hukum yang dibuat hawa nafsu manusia tentu penuh kelemahan, saling bertentangan dan dibuat untuk kepentingan para pembuatnya. Dalam sistem kerajaan (monarki), para raja dan keluarganya memiliki hak prerogatif membuat hukum dan privilege, yakni berkedudukan lebih tinggi di atas undang-undang dan hukum. Mereka bebas melakukan apa saja tanpa bisa disentuh hukuman. Sampai sekarang, ketentuan ini berlaku di sebagian negara yang masih melestarikan sistem monarki. Meski para raja atau ratu dan keluarganya tak lagi berkuasa, mereka masih memiliki hak privilege.
Dalam sistem demokrasi, yang memiliki hak membuat hukum/undang-undang adalah anggota dewan perwakilan rakyat. Mereka bisa membuat aturan sekalipun kelak aturan itu menyusahkan rakyat yang sudah memilih mereka. Di negeri ini, RUU Omnibus Law atau Cipta Kerja, misalnya, meski ditentang oleh banyak kaum buruh dan sebagian besar masyarakat, tetap akan disahkan oleh anggota dewan.
Begitulah penghambaan pada hukum yang berasal dari hawa nafsu manusia. Berlawanan diametral dengan syariah Islam. Hanya Allah SWT yang berwenang sebagai Al-Hakim.
Setiap Muslim semestinya menaati hukum Allah SWT, bukan hukum yang berseumber dari hawa nafsu manusia. Allah SWT berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak Allah izinkan? (TQS asy-Syura [42]: 21).
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, ”Maksudnya mereka tidak mengikuti apa yang disyariatkan Allah kepada kamu (Nabi Muhammad saw.) yang berupa agama yang lurus, namun mengikuti apa yang disyariatkan oleh setan-setan mereka dari kalangan jin dan manusia.”
Syariah Islam tak mengenal privilege, kedudukan di atas hukum. Bahkan keluarga Nabi saw. pun tak lepas dari hukum. Beliau bersabda:
إنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Hai manusia, sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang memiliki kedudukan di antara mereka mencuri, mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika orang yang lemah (rakyat biasa) yang mencuri, mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Merdeka dari Kezaliman
Demikianlah, Islam datang membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama mahluk/manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah SWT. Ketika ini terwujud, manusia akan terbebas dari kezaliman dan keburukan agama-agama, ideologi dan ajaran selain Islam. Kelapangan dunia pun akan dirasakan oleh segenap kaum Muslim dan umat manusia pada umumnya. Begitulah janji Allah SWT:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (TQS al-A’raf [7]: 96).
Negeri-negeri yang rakyatnya memeluk Islam baik secara damai maupun melalui peperangan (futuhat) juga terbebas dari eksploitasi dan penindasan. Saat pasukan Amr bin al-‘Ash ra. menaklukkan Mesir mereka melindungi umat Kristen Qibthi (Koptik) dan tidak memaksa mereka memeluk Islam. Itu sebabnya hingga kini mereka tetap eksis di negeri Mesir.
Seorang orientalis dan arkeolog asal Inggris, Stanley Lane Poole dalam bukunya, Moors in Spain, mengagumi kecemerlangan dan kemanusiaan peradaban Islam. Ia menulis, “Kemana saja tentara Arab (Muslim) masuk, kita mendapati mereka berkejaran dengan orang-orang Yahudi…Jika peperangan selesai, orang-orang Yahudi dan orang-orang Islam itu bersama-sama dalam memupuk ilmu pengetahuan dan falsafah serta kesenian. Ini suatu hal yang merupakan sifat khas dari pemerintahan Islam pada zaman abad-abad Pertengahan. Orang-orang Islam mengatur pemerintahan Islam di Cordova yang mengagumkan pada abad-abad pertengahan itu. Ketika seluruh Eropa tenggelam dalam kejahatan, kebiadaban, dan perkelahian, Islam sendirian memegang obor peradaban yang bercahaya cemerlang di hadapan Dunia Besar Barat.”
Inilah Islam yang kedatangannya membawa misi memerdekakan manusia dari penghambaan kepada sesama mahluk/manusia, menghapuskan kezaliman dan membawa manusia dari kesempitan dunia menuju kelapangannya. Tak ada yang bisa seperti itu melainkan hanya Islam. []
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian, Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.
(TQS al-Baqarah [2]: 21). []