Mediaumat.news – Upaya pemerintahan Jokowi dan DPR menghidupkan lagi pasal penghinaan terhadap presiden di RUU KUHP dinilai Peneliti Siyasah Institute Iwan Januar sebagai bentuk ketidakpercayaan diri pemerintah di depan publik.
“(Ini) bentuk ketidakpercayaan diri mereka di depan publik. Padahal berbagai survei katanya menunjukkan warga puas dan percaya dengan kinerja presiden,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Sabtu (5/5/2021).
Selain itu, pasal dengan ancaman maksimal 3,5 tahun penjara dan diperberat jadi 4,5 tahun bila diunggah di medsos tersebut menurut Iwan kabar buruk bagi atmosfer politik di tanah air, setidaknya karena tiga hal.
Pertama, pasal seperti ini sudah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi di tahun 2006, tapi justru dihidupkan lagi.
Kedua, dicemaskan terjadi over-criminalization, atau kriminalisasi terhadap warga yang melakukan kritik — apalagi bila keras dan tajam — kepada presiden dan wakil presiden. Karena dalam pasal-pasal tersebut seperti dalam pasal 219 disebutkan serangan terhadap harkat dan martabat presiden maupun wapres:
“Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Ia pun mengkritisi batasan dari serangan terhadap harkat dan martabat dalam pasal tersebut. “Apa batas serangan terhadap harkat dan martabat? Ini bisa multiinterpretasi, warga maksudnya mengkritik tapi bisa dianggap sebagai serangan,” tegasnya.
Ketiga, meski pasal-pasal ini delik aduan, tapi apakah aduan itu hanya bisa dilakukan oleh presiden dan wapres ataukah jangan-jangan oleh pihak yang merasa mewakili keduanya atau bisa oleh aparat? Kalau bisa, ini semakin menggambarkan suasana otoriter dan represif pada warga.
“Kita sepakat kalau serangan itu bersifat personal dan caci maki itu tidak boleh, tapi dari yang sudah-sudah sering terjadi kasus over-criminalization pada pelaku, atau pelaku bisa dijerat dengan hal-hal lain seperti tudingan penghasutan, ujaran kebencian sampai makar,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo