Harta Pejabat Negara Naik Selama Pandemi, Ahmad Sastra: Tidak Wajar, Harus Diperiksa

Mediaumat.news – Pernyataan Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan yang menyebut sebanyak 70,3 persen harta kekayaan para pejabat negara naik selama setahun terakhir atau di masa pandemi Covid-19, dinilai tidak wajar dan harus diperiksa.

“Tidak wajar, harus diperiksa,” ujar Cendekiawan Muslim Dr. Ahmad Sastra kepada Mediaumat.news, Kamis (9/9/2021).

Ahmad Sastra memandang, penambahan harta kekayaan para pejabat di tengah pandemi merupakan paradoks. Sebab di lain pihak, rakyat justru sedang dalam kondisi prihatin dampak dari pandemi dan kebijakan PPKM yang tak kunjung usai.

Sedangkan angka 70,3 persen, menurut Ahmad Sastra, adalah angka yang sangat tinggi dan tidak wajar, sebab negara ini telah terbukti sebagai negara yang banyak terjadi kasus tindak pidana korupsi. Ia mencontohkan korupsi bansos yang justru dilakukan di tengah kesengsaraan rakyat.

“Korupsi bansos hanyalah satu contoh, bisa jadi kenaikan kekayaan para pejabat negara juga akibat tindak korupsi, maka KPK harus menyelidiki lebih lanjut,” tuturnya.

Sebagaimana diungkap oleh Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, Ahmad Sastra melihat, ada juga kemungkinan kenaikan harta para pejabat negara tersebut karena adanya gratifikasi atau hibah rutin.

“Gratifikasi juga telah menjadi fenomena dalam sistem politik demokrasi yang notabene sering terjadi jual beli hukum dan kebijakan. Sebab sifat politik demokrasi yang transaksional sangat memungkinkan terjadinya berbagai pelanggaran hukum terkait kenaikan harta para pejabat negara di negeri ini,” bebernya.

Ia menggambarkan, korupsi dan demokrasi adalah dua sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan, sebab sistem politik demokrasi memang sistem padat modal. Sehingga untuk menjadi pejabat di Indonesia, dari tingkat lurah hingga presiden faktanya membutuhkan modal dari hanya ratusan juta hingga triliunan rupiah.

Kondisi ini, bebernya, sangat memungkinkan terjadinya tindak pidana gratifikasi dan korupsi sebagai jalan pintas untuk mengembalikan modal politik. Korupsi dalam sistem demokrasi terjadi karena lemahnya pengawasan publik dan lemahnya sistem hukum. Tidak mengherankan jika orang-orang baik yang masuk sistem demokrasi justru terjebak dan larut menjadi koruptor juga.

“Hal ini bukan lagi rahasia, karena itu KPK harus terus melakukan pemeriksaan kepada pejabat yang mengalami kenaikan hartanya secara tidak wajar, terlebih dalam kondisi pandemi Covid-19,” pintanya.

Sistem Islam versus Demokrasi

Ahmad Sastra mengatakan, dalam Islam seorang pemimpin selain dipilih karena ketakwaan individunya, tapi juga kuat di pangawasan publik serta ketegasan sistem hukumnya. Islam memberikan sanksi yang berat bagi tindak pidana pencurian yakni potong tangan. Tujuan hukum syariah Islam yang berkaitan dengan tindak pencurian adalah untuk menjaga harta, baik harta individual maupun harta milik umum dan negara.

Sementara itu kata Ahmad Sastra, dalam demokrasi justru sering terjadi kesepakatan jahat antara pelaku korupsi dan lembaga pengadilan. Dalam demokrasi, hukum bisa direkayasa dan dijualbelikan, sebab manusia yang menyusunnya. Sementara dalam Islam, hukum Islam berasal dari Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an yang tidak mungkin diubah dan direkayasa oleh manusia.

Ia menyebut, para pejabat di negeri demokrasi miskin kepedulian kepada rakyat. Bahkan di masa rakyat yang kesulitan hidup, para pejabat masih tega melakukan tindak korupsi. Para koruptor di sistem demokrasi tidak lagi merasa malu, karena merasa banyak temannya, bahkan juga tidak takut, karena dia tahu hukumannya tidak akan berat, bahkan bisa direkayasa.

Ahmad Sastra menegaskan, solusi sempurna bagi keruwetan di negeri ini adalah penerapan syariah Islam. Sebab hukum Islam adalah hukum yang adil karena datang dari Tuhan Yang Maha Adil. Syariah Islam adalah hukum sempurna karena datang dari Yang Maha Sempurna. Penerapan syariah Islam akan mampu memberikan solusi komprehensif bagi seluruh persoalan di negeri ini.

“Selama masih dalam sistem demokrasi, maka budaya korupsi akan semakin tumbuh kembang tidak mungkin bisa dikendalikan, apalagi dihentikan,” pungkasnya.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: