Harta Empat Konglomerat= Harta 100 Juta Rakyat Melarat

Pembangunan tak berhasil menghapuskan jurang antara si kaya dan si miskin

Kesenjangan ekonomi di Indonesia tampaknya semakin parah sampai-sampai kekayaan empat konglomerat setara dengan 100 juta rakyat melarat negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA) ini.

“Harta dari empat orang terkaya Indonesia setara dengan gabungan dari harta 100 juta orang miskin di Indonesia,” ungkap juru bicara Oxfam Indonesia, Dini Widiastuti, Kamis (23/2) di Jakarta.

Data ironis tersebut diungkap Oxfam Indonesia bersama International NGO Forum on Indonesia Development (INFID). Dalam laporan tersebut, Oxfam dan INFID menunjukkan kenyataan mengejutkan tentang ketimpangan di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil dan berimbang. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi yang baik itu tidak diimbangi dengan distribusi pendapatan yang merata.

“Dalam 20 tahun terakhir, jurang antara orang kaya dan miskin di Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Dilaporkan bahwa Indonesia berada di enam peringkat terbawah dunia dalam hal ketimpangan,” sambungnya.

Lebih jauh lagi, jumlah uang per tahun yang dihasilkan salah seorang terkaya di Indonesia cukup untuk membantu menghapus kemiskinan. Laporan tersebut juga menjelaskan peningkatan ketimpangan antara mereka yang hidup di perkotaan dengan di daerah.

Selain itu, laporan Oxfam dan INFID juga menjelaskan melebarnya jurang antara si kaya dan miskin merupakan ancaman serius bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia ke depan. Jika masalah ketimpangan ini tidak segera diatasi, maka upaya pemerintah akan menghadapi tantangan ketidakstabilan sosial.

Di tempat terpisah, Ketua Lajnah Maslahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Arim Nasim mengungkap akar masalahnya. “Inilah hasil nyata pembangunan ekonomi berbasis sistem ekonomi kapitalis. Yang menerapkan problem ekonomi adalah kelangkaan, sehingga politik ekonomi yang dilakukan adalah meningkatkan produksi atau pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan pemerataan sehingga hasilnya adalah kesenjangan yang luar biasa seperti data di atas,” ujarnya kepada Media Umat.

Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi maka didorong investasi dan sesuai dengan paradigma kapitalisme yaitu liberalisasi dan swastanisasi maka investasi diserahkan ke swasta. Termasuk  SDA yang seharusnya dikelola oleh negara seperti tambang emas, perak, tembaga serta SDA yang menjadi kebutuhan hajat hidup orang banyak seperti migas, air , listrik dan hutan akhirnya dimonopoli oleh swasta.

Hasilnya, migas 85 persen dikuasai swasta, tembaga dan batubara hampir 100 persen dikuasai swasta, jutaan hektar hutan dikuasai swasta, seperti group kayu lapis milik Hunawan Widjayanto menguasai 3,5 juta HPH. Air dikuasai oleh Aqua, dll. “Sehingga yang menikmat pertumbuhan ekonomi hanya segelintir orang,” beber Arim.

Akhirnya untuk membiayai negara maka negara mengandalkan pajak dan utang. Dan ironisnya pajak terbesar disumbang oleh rakyat kecil dan menengah. “Tidak peduli pengusaha kecil dan menengah ini untung atau rugi, semua dibebani pajak satu persen dari peredaran bruto, sementara para kapitalis yang sudah bertahun-tahun tidak bayar pajak diampuni dengan hanya membayar 3-5 persen saja,” keluhnya.

Di sisi lain, karena SDA yang menjadi kebutuhan publik seperti migas dan air dimonopoli oleh swasta maka rakyat dipaksa untuk mendapatkannya dengan harga yang mahal.  “Maka akhirnya terjadilah kondisi yang kaya making kaya dan orang miskin semakin miskin dan kelaparan..,” ungkapnya.

Arim menyatakan, untuk menghentikan kesenjangan ini, tidak ada cara lain kecuali kembali kepada syariah Islam dalam mengelola ekonomi.  [] joko prasetyo

Share artikel ini: