Harga Beras Mahal Tak Berarti Kehidupan Petani Lebih Baik

Mediaumat.info – Ekonom Forum Analisis Kajian dan Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menyatakan harga beras yang mahal tidak berarti kehidupan petani Indonesia lebih baik.

“Harga beras yang mahal tidak berarti kehidupan petani Indonesia lebih baik,” ujarnya kepada media-umat.info, Ahad (22/9/2024), menyanggah pernyataan Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang menyebut harga beras di Indonesia memang tinggi sehingga hal ini justru positif dan menjadi masa-masa membahagiakan petani.

Pasalnya, jelas Ishak, mahalnya harga beras saat ini disebabkan oleh tingginya biaya produksi. Salah satu faktor produksi yang cukup besar adalah biaya sewa lahan. Sebab banyak petani di Indonesia tidak memiliki lahan sendiri atau hanya memiliki lahan sempit (gurem), sehingga mereka harus menyewa lahan untuk bertani.

Selain itu, jelas Ishak, biaya produksi lain yang juga signifikan adalah pupuk dan bahan bakar minyak (BBM) yang diperlukan dalam proses produksi. Sehingga tingginya biaya pertanian ini memaksa sebagian petani untuk meminjam uang dari perbankan, termasuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dengan bunga yang sangat tinggi bahkan bisa mencapai 25 persen.

Ishak mengungkapkan, sebagian besar petani Indonesia juga bukan pemilik lahan, melainkan penggarap yang menerima upah. Dan ketika harga beras naik, upah mereka cenderung tidak ikut naik, sementara biaya hidup mereka meningkat karena harga beras dan kebutuhan pokok lainnya ikut naik.

Ia membeberkan, rata-rata inflasi sekitar 3-4 persen, sedangkan kenaikan upah petani hanya sekitar 2-3 persen. Dengan demikian, biaya hidup yang harus ditanggung lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan pendapatan mereka.

Menurutnya, hal ini juga dialami oleh pekerja di sektor lain, di mana pertumbuhan pendapatan mereka lebih rendah daripada laju inflasi, khususnya inflasi pangan yang cenderung lebih tinggi daripada inflasi umum. Padahal, pengeluaran terbesar penduduk kelas menengah bawah adalah untuk pangan.

Oleh karena itu ia menyarankan, untuk meningkatkan kesejahteraan petani, diperlukan perubahan sistem secara menyeluruh, dimulai dari pengaturan kepemilikan lahan agar tidak dikuasai oleh oligarki. Sistem riba yang membuat distribusi kekayaan menjadi tidak adil harus dihapuskan, serta produksi pupuk yang lebih murah harus diupayakan karena bahan bakunya, gas, merupakan barang milik umum.

“Aturan-aturan ini hanya dapat diwujudkan jika Islam dijadikan asas dalam bernegara, termasuk dalam pengaturan ekonomi,” pungkas Ishak. [] Agung Sumartono

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

 

Share artikel ini: