Harapan Baru Indonesia, Pilih Sekularisme atau Islam?
Oleh Agung Wisnu
Pada awal abad 20 sampai pertengahannya, di Indonesia terjadi diskursus menarik terkait keberadaan Kekhilafahan Turki Usmani. Kita semua tahu bahwa tahun-tahun itu adalah masa kemunduran kekhilafahan Turki Usmani yang berujung dengan runtuhnya pada tanggal 3 Maret 1924.
Soekarno dan organisasi priyayi Boedi Oetomo cenderung tidak pro pada keberadaan Kekhilafahan Turki Usmani. Dan mereka lebih setuju dengan pemisahan agama dan negara seperti yang terjadi dalam perkembangan Turki. Inilah paham sekularisme.
Sedangkan tokoh-tokoh Islam sangat pro pada Kekhilafahan dan memberikan respon penting saat Kekhilafahan Turki Usmani runtuh. Pada tanggal 4-5 Oktober 1924, diadakan pertemuan tokoh Islam di Madrasah Tarbiatoel Aitam Genteng Surabaya. Mereka membuat kesepakatan penting yaitu 1) Keberadaan khilafah adalah wajib, dan penting mengirim delegasi Indonesia ke Kongres Kairo; 2) Membentuk Komite Khilafah sebagai wadah dalam memperjuangkan khilafah. Kelompok ini tentu memiiki semangat Islam, jauh dari konteks sekularisme.
Dari fakta di atas, muncul pertanyaan : apa sebenarnya energi dalam sejarah panjang perlawanan mengusir penjajahan Barat di negeri ini? Apakah energi Islam atau sekularisme?
Sejarah mencatat bahwa energi Islamlah yang berkobar-kobar untuk melawan penjajah barat di negeri ini, bukan energi sekularisme. Sampai negeri ini baru seumur jagung pun yang bersimbah darah melawan penjajah sekutu adalah energi resolusi jihad para ulama dan santri. Sekali lagi bukan energi sekularisme.
Sampai perlawanan politik pun dicetuskan dengan energi Islam melalui Sarekat Islam (SI).
Sekularisme dan komunisme baru muncul setelah politik etis dari Belanda dijalankan.
Oleh karena itu tokoh-tokoh Islam pun memperjuangkan energi Islam di sidang BPUPKI. Walaupun akhirnya harus berkompromi dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Tetapi ternyata dengan lobby kalangan sekuler, Piagam Jakarta pun dikebiri dengan dihilangkan 7 kata “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.
Melalui sidang konstituante, tokoh Islam pun terus memperjuangkan dan harus melawan kalangan sekuler yang bersekutu dengan kalangan komunis, sampai kemudian dekrit presiden 5 Juli 1959 yang berakhir dengan pembubaran Masyumi oleh Sukarno.
Dan setelah itu Indonesia terus dirundung duka dengan penerapan Nasakom oleh orde lama, kapitalisme oleh orde baru dan liberalisme oleh orde reformasi. Semua berujung pada kesempitan dan kerusakan buat Indonesia. Indonesia dirundung penjajahan gaya baru.
Saatnya Islam dijadikan energi untuk masa depan baru Indonesia.
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. (Qs. Al-An’am: 153)
Buat kalangan Muslim, hal ini harus terus digelorakan sebagai wujud keimanan. Buat kalangan non muslim, jangan takut dengan syariah dan khilafah karena hal ini akan membawa rahmat untuk semua, muslim maupun non muslim. Ingatlah sekularisme yang melahirkan kapitalisme telah merusak umat manusia semuanya, muslim maupun non muslim.
Wallahu’alam[]
Sumber: Facebook.com
1 Comment
Sejak negeri ini merdeka, sosialisame dan kapitalisme dengan berbagai modelling telah diterapkan. Hasilnya kehancuran…. Jika cinta negeri ini, jika ingin negeri ini lebih baik. Berikan Islam untuk memimpin negeri ini dengan Khilafah