Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Ada yang aneh dari penyataan Ahmad Ngisomudin, di persidangan PTUN, 15 Maret 2018 yang lalu, bahwa mendirikan Khilafah, khususnya di Indonesia, hukumnya haram, karena menyalahi kesepakatan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, Ngisomudin mengakui, bahwa Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun.[1]
Yang menarik, ahli lain yang dihadirkan pemerintah di persidangan PTUN berikutnya, 29 Maret 2018, ketika ditanya, “Apakah NKRI ini telah menerapkan syariat Islam?” Dijawab, “Tidak”. Kemudian, ditanya oleh Jubir HTI, Ustadz Ismail Yusanto, “Boleh tidak, mengubah kesepakatan dengan kesepakatan yang lebih baik?” Dijawab, “Boleh”. Dia menambahkan, “Kecuali mengubah NKRI.” Sambil mengutip Q.s. al-Maidah: 1:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ﴾ [سورة المائدة: 1]
“Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu.” [Q.s. al-Maidah: 01]
Q.s. al-Maidah: 01 ini memang sering dibajak, dan digunakan tidak pada konteksnya. Termasuk untuk melegitimasi kesepakatan yang menyalahi, bahkan membatalkan hukum Allah yang sudah ma’lumun min ad-dini bi ad-dharurah [diyakini urgensinya dalam agama], seperti kewajiban adanya Khilafah, dan kewajiban menegakkannya kembali, ketika tidak ada.
Makna Sebenarnya Q.s. al-Maidah: 1
Imam al-Qurthubi [w. 671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, dalam kitabnya, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menjelaskan makna ayat ini sebagai berikut:
قوله تعالى: ﴿أَوْفُوْا﴾ يقال: وفى وأوفى لغتان: قال الله تعالى: ﴿وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ﴾ [التوبة: 11]، وقال تعالى: ﴿وَإِبْرَاهِيْمَ الَّذِيْ وَفَى﴾ [النجم: 37].. فجمع بين اللغتين .
﴿بِالْعُقُوْدِ﴾: العقود الربوط، واحدها عقد؛ يقال: عقدت العهد والحبل، وعقدت العسل فهو يستعمل في المعاني والأجسام.
فأمر الله سبحانه بالوفاء بالعقود؛ قال الحسن: يعني بذلك عقود الدين وهي ما عقده المرء على نفسه؛ من بيع، وشراء، وإجارة، وكراء، ومناكحة، وطلاق، ومزارعة، ومصالحة، وتمليك، وتخيير، وعتق، وتدبير، وغير ذلك من الأمور، ما كان ذلك غير خارج عن الشريعة؛ وكذلك ما عقده على نفسه لله من الطاعات، كالحج، والصيام، والاعتكاف، والقيام، والنذر، وما أشبه ذلك من طاعات ملة الإسلام. وأما نذر المباح فلا يلزم بإجماع من الأمة؛ قاله ابن العربي.
قال ابن عباس: ﴿أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ﴾، معناه بما أحل وبما حرم وبما فرض وبما حد في جميع الأشياء؛ وكذلك قال مجاهد وغيره، وقال ابن شهاب: قرأت كتاب رسول الله ﷺ الذي كتبه لعمرو بن حزم حين بعثه إلى نجران وفي صدره: (هذا بيان للناس من الله ورسوله يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود فكتب الآيات فيها إلى قوله: إن الله سريع الحساب).
وقال الزجاج: المعنى أوفوا بعقد الله عليكم وبعقدكم بعضكم على بعض، وهذا كله راجع إلى القول بالعموم وهو الصحيح في الباب؛ قال ﷺ: (المؤمنون عند شروطهم) وقال ﷺ: (كل شرط ليس في كتاب الله فهو باطل وإن كان مائة شرط)، فبين أن الشرط أو العقد الذي يجب الوفاء به ما وافق كتاب الله أي: دين الله؛ فإن ظهر فيها ما يخالف رد؛ كما قال ﷺ: (من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد).
Firman Allah SWT: “Aufû” [tunaikanlah], ada yang mengatakan, “Wafâ wa Aufâ” adalah dua bahasa [lafadz yang berbeda]. Allah SWT berfirman: “Wa man Aufâ bi ahdihi mina-Llâh” [Siapakah yang lebih memenuhi janjinya ketimbang Allah?]. Allah SWT juga berfirman: “Wa Ibrahîma al-ladzî wafâ” [dan Ibrahim yang telah menunaikan [janjinya]]… Maka, Dia mengumpulkan dua bahasa [lafadz yang berbeda] tersebut.
“Bi al-Uqûd”: Lafadz, “Uqûd” artinya, “Rubûth” [ikatan]. Bentuk tunggalnya adalah, “Aqdun” [akad]. Ada yang mengatakan, “Aqadtu al-‘Ahda wa al-Habla” [aku mengikat janji dan tali]. “Aqqadtu al-‘Asla” [aku “mengikat” madu].[2] Lafadz tersebut digunakan untuk sejumlah makna dan jisim.
Allah SWT menitahkan, agar memenuhi akad. Al-Hasan berkata, maksudnya adalah akad-akad agama, yaitu apa yang diakadkan oleh seseorang terhadap dirinya, seperti akad jual, beli, ijârah, menyewakan lahan, nikah, talak, muzâra’ah [kerjasama bagi hasil pertanian], perdamaian, menguasakan milik, memberi pilihan [takhyîr], memerdekakan dan membebas budak, dan perkara lain, selama tidak keluar dari syariah. Begitu juga apa saja bentuk ketaatan yang diakadkan untuk dirinya, semata karena Allah, seperti haji, puasa, i’tikaf, qiyamullail, nazar, dan ketaatan dalam agama Islam lainnya. Adapun nazar yang mubah, maka berdasarkan kesepakatan umat tidak wajib ditunaikan. Itu dinyatakan oleh Ibn al-‘Arabi.
Ibn ‘Abbas berkata: “Aufû bi al-‘Uqûd” [Tunaikanlah akad-akad itu], maksudnya adalah apa saja yang dihalalkan, apa saja yang diharamkan, apa saja yang difardhukan, dan apa saja yang telah ditetapkan dalam semua perkara. Begitu juga Mujahid dan yang lainya berpendapat yang sama. Ibn Syihab berkatab: “Aku membaca surat Rasulullah yang ditulis kepada ‘Amru bin Hazm, ketika baginda saw. mengutusnya ke Najran, di permulaan surat itu dinyatakan: “Ini adalah penjelasan kepada umat manusia, dari Allah dan Rasul-Nya, wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu.” Baginda pun menuliskan ayat-ayat tersebut di dalamnya, sampai firman Allah yang menyatakan: “Sesungguhnya Allah Maha Menyegerakan perhitungan-Nya.” [Q.s. al-Maidah: 4]
Az-Zujaj menjelaskan: Maknanya adalah tunaikanlah akad Allah kepada kalian, dan akad kalian kepada sesama kalian. Ini semua merujuk kepada pendapat berdasarkan keumuman lafadznya, dan ini merupakan pendapat yang sahih dalam konteks ini.
Rasulullah saw. bersabda, “Orang Mukmin itu sesuai dengan syarat yang mereka tetapkan.”, baginda saw. juga bersabda, “Tiap syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka statusnya batil, meski terdiri seratus syarat.” Maka, baginda saw. menjelaskan, bahwa syarat atau akad yang wajib ditunaikan adalah apa yang sesuai dengan kitab Allah, yaitu agama Allah. Jika tampak menyalahi [agama Allah], maka wajib ditolak. Sebagaimana sabda baginda saw, “Siapa saja yang melaksanakan suatu perbuatan, yang tidak menetapi tuntunan kami, maka perbuatan tertolak.” [3]
Imam as-Syafii [w. 204 H], dalam kitabnya, Ahkâm al-Qur’ân, juga menjelaskan:
قال الشافعي: هذا من سعة لسان العرب الذي خوطبت به، فظاهره عام على كل عقد. ويشبه (والله أعلم): أن يكون الله (تبارك وتعالى) أراد [أن] يوفوا بكل عقد – : كان بيمين، أو غير يمين. وكل عقد نذر: إذا كان في العقدين لله طاعة، أو لم يكن له – فيما أمر الوفاء منها – معصية.
Imam as-Syafii berkata: “Ini karena luasnya bahasa Arab, yang digunakan untuk menyampaikan seruan [khithab]. Secara dhahir tampak umum, meliputi semua akad. Juga (Allah Maha Tahu) seakan-akan: Allah [Tabaraka wa Ta’ala] menginginkan agar mereka menunaikan semua akad: Apakah berupa sumpah, atau bukan. Juga semua akad nazar. Jika dalam kedua akad tersebut hanya berisi ketaatan kepada Allah, atau –dalam perkara yang diperintahkan untuk ditunaikan– bukan untuk maksiat kepada-Nya.” [4]
Jadi, berdasarkan penjelasan Imam as-Syafii [w. 204 H] dan al-Qurthubi [w. 671 H] di atas, jelas bahwa perintah menunaikan akad di sini meliputi semua akad, dengan syarat tidak menyalahi hukum Allah. Sebaliknya, jika menyalahi hukum Allah, maka akad tersebut tidak boleh dilaksanakan. Terlebih, sudah menyalahi hukum Allah, akad yang sama juga digunakan untuk menghalangi tegaknya hukum Allah, maka lebih tidak boleh lagi. Lebih-lebih lagi, menghalangi tegaknya hukum Allah yang disepakati oleh para ulama’ sebagai perkara yang ma’lumun min ad-din bi ad-dharurah [diyakini urgensinya dalam agama], dan merupakan kewajiban paling agung [a’dham al-wajibat], maka jelas tidak boleh.[5]
Status Kesepakatan untuk Mengharamkan Kewajiban
Dalam kitabnya, al-‘Uqûd, al-‘Allamah Syaikh Samih ‘Athif az-Zain, menjelaskan, bahwa bagian paling depan dari akad-akad itu adalah akad [ikatan] keimanan, yang mengikat manusia dengan Allah SWT, yang mengharuskannya untuk mengakui ketuhanan-Nya. Pengakuan ini mengharuskannya untuk beribadah dengan sempurna, terikat secara utuh, taat secara mutlak, dan berserah diri secara totalitas kepada Allah, Rabb semesta alam.
Akad [ikatan] keimanan inilah yang seharusnya menjadi sumber dan pondasi semua akad dan ketentuan hidup. Dari sini, maka “ikatan keimanan” itu masuk dalam konsepsi dasar akidah, yang diikat di dalam kalbu, bahkan dengannya ikatan dan hubungan dengan sesama manusia itu dibangun. Khususnya, antara sesama orang Mukmin, yang secara khusus diseru oleh Allah dalam seruan-Nya ini.[6]
Karena itu, jika akad-akad yang ada dalam kehidupan manusia ini bersumber dan didasarkan pada akidah Islam, serta terikat sepenuhnya dengan hukum Allah, maka akad-akad ini merupakan akad yang sah. Sebaliknya, jika akad-akad ini tidak bersumber dan dibangun berdasarkan akidah Islam, serta tidak terikat dengan hukum Allah, maka akad-akad ini pasti menyimpang. Itulah, mengapa para fuqaha’ membagi akad ini menjadi akad yang sah, fasad dan bathil.[7]
Akad yang fasid adalah akad yang terlaksana dan dianggap ada, tetapi karena tidak memenuhi ketentuan syara’ yang ditetapkan, maka akad ini tidak mempunyai pengaruh. Seperti jual-beli barang yang cacat. Jika pembelinya tidak menerima, maka akad jual-belinya bisa dibatalkan. Lebih parah dari akad yang fasid adalah akad bathil, karena akad ini tidak bisa diperbaiki, disebabkan akad melakukan keharaman, atau meninggalkan kewajiban, sekalipun pelakunya sama-sama suka. Transaksi zina adalah akad bathil, meski sama-sama suka. Karena akad ini adalah akad untuk melakukan keharaman. Begitu juga, akad untuk mengharamkan Khilafah adalah akad yang bathil, karena adanya Khilafah, telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum Muslim, hukumnya wajib.
Al-‘Allamah Syaikh Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, dalam kitabnya, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, menjelaskan:
أحكامه: العقد الباطل ليس له وجود شرعي، فهو في حكم العدم، ولا ينتج آثاره، ولا ينقلب إلى صحيح، ولتصحيحه لا بد من إعادة العقد بعد إزالة سبب بطلانه
“Hukumnya: Akad bathil itu, secara syar’i tidak ada. Status hukumnya seperti tidak ada. Ia juga tidak menimbulkan dampak [akibat]. Juga tidak bisa berubah menjadi sah. Untuk mengubahnya menjadi sah, maka akadnya harus diulang, setelah sebab [yang menyebabkan] kebathilannya dihilangkan.” [8]
Selain itu, para ulama’ juga telah membahas tentang kesepakatan ini dalam Ahkam as-Shulh [Hukum perdamaian]. Shulh [perdamaian] itu sendiri bertujuan untuk mencapai kesepakatan, dan menghilangkan perselisihan di antara para pihak. Ini sesuai dengan hukum asal mu’amalah itu sendiri. Hanya saja, syarat-syarat yang disepakati, dan mengikat para pihak tidak boleh menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal. Dalam hal ini, Nabi saw. bersabda:
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِيْنَ إِلاَ صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً [رواه الترمذي]
“Kesepakatan damai di antara kaum Muslim itu boleh, kecuali kesepakatan damai yang menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal.” [Hr. At-Tirmidzi]
Karena itu, bisa dikatakan semua fuqaha’ telah sepakat, bahwa kesepakatan damai [sulh], jika menyangkut hak Allah, seperti kewajiban zakat, haji dan jihad, misalnya, sekalipun semua orang sepakat hukum ini dibatalkan, maka kesepakatan seperti ini bathil, dan tidak berlaku. Begitu juga, jika semua orang sepakat untuk membatalkan pelaksanaan hudud, seperti sanksi bunuh bagi orang murtad, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina muhshan, cambuk bagi pezina ghairu muhshan, dan sebagainya, maka kesepakatan seperti ini juga bathil, dan tidak berlaku.[9]
Nah, karena itu tidak ada satu pun ulama’ kaum Muslim, yang menyatakan, bahwa berjuang menegakkan Khilafah, yang wajib, menjadi haram hukumnya, karena dianggap melanggar kesepakatan. Justru sebaliknya, jika ada kesepakatan yang melarang kaum Muslim untuk menegakkan Khilafah, maka kesepakatan seperti ini jelas bathil, dan tidak berlaku. Bahkan, jika seluruh manusia sepakat, haram hukumnya menegakkan Khilafah, maka kesepakatan ini pun bathil, dan tidak berlaku, karena membatalkan apa yang diwajibkan oleh Allah.
Kesepakatan Mengharamkan Persatuan dan Kesatuan Umat
Allah menyatakan, bahwa umat Islam ini adalah satu, beragama satu, Tuhannya satu, kitab sucinya satu, Nabinya satu. Mereka juga merupakan satu tubuh, yang disatukan dalam satu negara, Khilafah. Dengannya, persatuan dan kesatuan umat ini benar-benar terwujud dengan nyata. Allah SWT berfirman:
﴿إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ ﴾ [سورة الأنبياء: 92]
“Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku.” [Q.s. al-Anbiya’: 92]
Karena itu, para ulama sepakat, tentang kewajiban adanya satu Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia.
Pertama, Imam an-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim, menyatakan:
إذا بويع لخليفتين بعد خليفة، فبيعة الأول صحيحة، ويجب الوفاء بها، وبيعة الثاني باطلة، ويحرم الوفاء بها، ويحرم عليه طلبها وسواء عقدوا للثاني عالمين بعقد الأول، أم جاهلين، وسواء كانا في بلدين، أو بلد، أو أحدهما في بلد الإمام المنفصل، والآخر في غيره.. واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد، سواء اتسعت دار الإسلام أم لا..
“Jika baiat diberikan kepada dua khalifah, setelah dibaiatnya khalifah yang lain, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan. Sedangkan baiat yang kedua batil, dan haram ditunaikan. Juga harus bagi yang kedua untuk menuntutnya, baik mereka telah mengangkat yang kedua tadi tahu tentang pengangkatan yang pertama atau tidak. Baik keduanya di dua wilayah, satu wilayah, atau salah satunya di wilayah imam [Khalifah] yang terpisah, sementara yang lain di wilayah yang lain.. Para ulama’ telah sepakat, bahwa tidak boleh dua khalifah diangkat dalam satu waktu, baik Darul Islam tersebut luas atau tidak.”[10]
Kedua, al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, dalam kitabnya, Fath al-Bari, menyatakan:
والمعنى: إذا بويع الخليفة بعد الخليفة فبيعة الأول صحيحة يجب الوفاء بها، وبيعة الثاني باطلة، وقال القرطبي: في هذا الحديث – أي حديث: (أوفوا ببيعة الأول..) حكم بيعة الأول، وأنه يجب الوفاء بها، وسكت عن بيعة الثاني، ونص عليه حديث عرفجة في صحيح مسلم، حيث قال: فاضربوا عنق الآخر..
“Maknanya: Jika baiat diberikan kepada dua khalifah, setelah dibaiatnya khalifah yang lain, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan. Sedangkan baiat yang kedua batil. Dalam konteks hadits ini, yaitu hadits, “Tunaikanlah bai’at yang pertama”, al-Qurthubi menjelaskan hukum baiat yang pertama, bahwa ia wajib ditunaikan. Beliau mendiamkan baiat yang kedua. Hadits Arfajah, dalam Shahih Muslim, telah menyatakannya, ketika menyatakan, “Maka, penggalah leher yang terakhir [dari keduanya]..”[11]
Ketiga, Imam al-Mawardi, dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, menyatakan:
فصل: وإذا عقدت الإمامة لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما، لأنه لا يجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد
“Pasal: Jika imamah [Khilafah] telah diberikan kepada dua imam di dua wilayah, maka imamah [Khilafah] keduanya tidak sah. Karena umat ini tidak boleh mempunyai dua imam dalam satu waktu yang sama.”[12]
Keempat, Imam al-Farra’, dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, menyatakan:
ولا يجوز عقد الإمامة لإمامين في بلدين..
“Tidak boleh [haram] mengangkat imamah [Khilafah] untuk dua imam dalam dua wilayah.”[13]
Inilah pendapat berbagai ulama’ kaum Muslim, tentang kesatuan Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Ini bukan merupakan pendapat Hizbut Tahrir, tetapi para ulama’ muktabar di kalangan Ahlussunnah. Bahkan, ketika Imam al-Haramain al-Juwaini, menyatakan:
قال أصحابنا: لا يجوز عقدها لشخصين، قال: وعندي: أنه لا يجوز عقدها لاثنين في صقع واحد، وهذا مجمع عليه، قال: فإن بعد ما بين الإمامين، وتخللت بينهما شسوع فللاحتمال فيه مجال، وهو خارج من القواطع.
“Para pengikut mazhab kami berkata, “Tidak boleh imamah [Khilafah] itu diberikan kepada dua orang.” Menurut saya, “Imamah [Khilafah] itu tidak boleh diberikan kepada dua orang dalam satu wilayah. Ini telah disepakati.” Berkata [Para pengikut mazhab kami], “Jika wilayah di antara dua imam [Khalifah] itu jauh, dan dipisahkan oleh jarak, maka di sana ada kemungkinan. Ini keluar dari pendapat yang pasti.”[14]
Dalam konteks ini, Imam an-Nawawi dengan tegas menyanggah pendapat ini, dengan menyatakan:
وهو قول فاسد، لما عليه السلف والخلف، ولظواهر الأحاديث.
“Ini merupakan pendapat yang rusak, menyalahi apa yang menjadi pendapat ulama’ salaf dan khalaf, juga menyalahi dhahirnya sejumlah hadits.”[15]
Begitu juga dengan klaim pendapat Imam al-Mawardi, yang menyatakan kebolahan mengangkat dua orang untuk menduduki jabatan imamah (Khilafah). Dengan kata lain, tiap orang diangkat di wilayah yang berbeda dengan yang lain, sebagaimana konotasi ijmak yang dinukil oleh Imam al-Haramain al-Juwaini, justru Imam al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang aneh.[16]
Itulah pendapat para ulama’ muktabar tentang kedudukan satu Khilafah dan Khalifah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Pendapat ini dituangkan dalam kitab-kitab mereka. Jadi, jelas ini ada dalam kitab-kitab mereka. Pendapat yang disepakati oleh hampir seluruh ulama’ kaum Muslim.[17]
Selain itu, pendapat di atas juga menyepakati keharaman adanya lebih dari satu negara bagi umat Islam. Karena itu, kesepakatan untuk mendirikannya merupakan kesepakatan untuk menghalangi persatuan dan kesatuan umat. Karena itu, kesepakatan seperti ini juga tidak boleh.
Wallahu a’lam.[]
[1] Ahmad Ngisomudin, M. Ag. Alias KH. Ahmad Ishomuddin, Gerakan Politik HTI Berbalut Dakwah Menuju Khilafah Islamiyyah, makalah yang disampaikan sebagai alat bukti persidangan di hadapan Majelis Hakim PTUN, 15 Maret 2018, hal. 13.
[2] Maksud, “Aqqadtuhu al-‘Asla” adalah saya mengaduk madu itu hingga kental.
[3] Al-‘Allamah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet I, 1425 H/2004 M, Juz I/1004-1005.
[4] Al-Imam al-Mu’adzdzam wa al-Mujtahid al-Muqaddam, Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Idris as-Syafii, Ahkâm al-Qur’ân, Maktabah al-Khanji, Caero, cet II, 1414 H/1994 M, Juz II/66.
[5] Al-Imam Ibn Taimiyyah, dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa, menyatakan, “Wajib diketahui, bahwa kekuasaan untuk mengurus urusan umat manusia adalah kewajiban agama yang paling agung. Bahkan, agama dan dunia ini tidak akan berdiri, kecuali dengannya.” Lihat, Ibn Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, Juz XXVIII/390.
[6] al-‘Allamah Syaikh Samih ‘Athif az-Zain, al-‘Uqûd, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, cet I, 1414 H/1994 M, hal. 6.
[7] al-‘Allamah Syaikh Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet I, 1414 H/1994 M, Juz I/1412-1413.
[8] Idem, hal. 1413.
[9] Idem, hal. 1243.
[10] Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40.
[11] Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, Juz VI/497.
[12] Imam al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9.
[13] Imam al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9.
[14] Lihat, Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40-41.
[15] Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40-41.
[16] Dr. Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, Juz I/336.
[17] Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40-41; Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, Juz VI/497; al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9; al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9.