Hanya Khilafah-lah yang Dapat Merealisasikan “Maqashid asy-Syari’ah”
Oleh: dr Mohammad Ali Syafi’udin
Ada pendapat yang aneh, kalau tidak dikatakan menyimpang, bahwa upaya untuk menyatukan seluruh kaum muslim sedunia dalam naungan Khilafah akan bertabrakan dengan tujuan pokok agama atau “Maqashid asy-Syari’ah”, yaitu “Jalbu al-Mashailh wa Dar’u al-Mafasid” (mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan).
Sebelumnya perlu dipahami terlebih dahulu tentang konsep:
جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ
“Mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.”
Kemasalahatan itu bisa diwujudkan, begitu juga kerusakan bisa dihilangkan, sebenarnya merupakan hikmah, hasil (natijah) dari penerapan syariat Islam secara kaffah. Ini sebagaimana firman Allah:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ﴾
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’ [21]: 107)
Dari ayat ini ada tiga pemahaman terkait dengan maksud “Rahmatan li al-‘Alamin”.
Pertama, keberadaan Nabi Muhammad Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama sendiri sebagai Rahmat. Ini dijelaskan di dalam kitab Hasyiyah Ash-Shawiy ‘ala Tafsir al-Jalalain, bahwa Kata “Rahmat” di dalam ayat ini menjadi “Maf’ul li Ajlih”, yakni keterangan yang menjelaskan alasan perbuatan. Perbuatan yang dimaksud dalam hal ini adalah, “Ma Arsalnaka” (Kami tidak mengutusmu [Muhammad]), atau menjadi “hal”, yakni Isim Nakirah, yang menjelaskan keadaan obyek yang diutus (Nabi Muhammad). Dengan konotasi:
أَيْ أَنَّهُ نَفْسُ الرَّحْمَةِ
“Sesungguhnya Beliau Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama sendiri sebagai Rahmat.”
Sebagaimana dalam yang dinyatakan dalam hadis Nabi:
إِنَّماَ أَناَ رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ (رواه الدارمى (١٥)، والحاكم في المستدرك (١/٩١)
“Sesungguhnya aku adalah Rahmat yang dianugerahkan (seluruh alam semesta).” (HR ad-Darimi dan Al-Hakim)
Kedua, Risalah yang baginda Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama bawa menjadi rahmat. Disebutkan dalam kitab yang sama Hasyiyah Ash-Shawiy ‘ala Tafsir al-Jalalain:
“Sebagai rahmat juga dari aspek baginda Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama membawa sesuatu yang memberikan petunjuk kebahagiaan yang agung kepada makhluk.”
Hal ini senada dengan nas lain yang menjelaskan, bahwa Al-Qur’an sebagai Rahmat. Allah berfirman:
﴿وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ﴾
“Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri.” (Q.s. An-Nahl [16]: 89).
Juga Firman Allah SWT:
﴿وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ﴾
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman.” (Q.s. Al-Isra’ [17]: 82)
Ketiga, rahmat bagi alam itu terwujud sebagai akibat dari penerapan syariat Islam. Ini bisa dipahami dari gabungan beberapa nas di atas, dimana satu nas menjelaskan keberadaan Nabi Muhammad Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama sendiri sebagai rahmat, sedangkan nas lain menjelaskan Al-Qur’an sebagai rahmat, maka dari semuanya itu menunjukkan, bahwa syariat Islam sebagai rahmat bagi alam itu karena hasil dari penerapan syariat. Hal ini dijelaskan oleh Al-‘Alamah al-Qadhi Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab As-Syahsyiyah Juz III:
وَعَلَى ذَلِكَ فَإِنَّ كَوْنَ الشَّرِيْعَةِ رَحْمَةً لِلنَّاسِ هُوَ غَايَةُ الشَّارِعِ الَّتِيْ يُهْدَفُ إِلَيْهَا مِنْ تَشْرِيْعِ الشَّرِيْعَةِ
“Atas dasar itulah, maka keberadaan syariat sebagai rahmat bagi manusia merupakan tujuan pembuat syariat yang hendak diraih dari disyariatkannya syariat itu.”
Tujuan dari disyariatkannya syariat inilah yang oleh para ulama ushul disebut dengan Maqashid asy-Syari’ah, yang tujuannya adalah:
جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ
“Mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan”
Ini merupakan hikmah, bukan ‘illat (alasan disyariatkannya) hukum. Ini karena nas-nas di atas, baik dilihat dari aspek bentuk (shighat) bahasa maupun fakta tidak menunjukkan adanya ‘illat, tetapi menunjukkan adanya hasil (natijah) dari disyariatkannya syariat ini.
Adapun yang dimaksud ‘illat itu adalah sesuatu yang membangkitkan hukum, dan merupakan dalil hukum, sebagaimana penjelasan Al-‘alamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Syahsyiyah Juz III:
اَلْعِلَّةُ دَلِيْلٌ عَلَى الْحُكْمِ، وَعَلاَمَةٌ عَلَيْهِ، وَمُعَرِّفَةٌ لَهُ، وَلَكِنَّهَا إِلَى جَانِبِ ذَلِكَ هِيَ الأَمْرُ اَلْبَاعِثُ عَلَى الْحُكْمِ.
“‘Illat adalah dalil hukum, tanda sekaligus pengenal yang menunjukkan pada hukum. Namun, selain itu ‘illat ini merupakan sesuatu yang membangkitkan hukum.”
Karena ‘illat ini merupakan dalil hukum, maka ‘illat yang bisa diterima adalah ‘illat syar’iyyah, yaitu ‘illat yang dinyatakan dalil syara’, baik Al-Qur’an, As-sunnah maupun Ijma’ Sahabat. Bukan ‘illat ‘aqliyyah, yaitu alasan yang didasarkan pada akal. Meski ‘illat itu dinyatakan oleh dalil, tetapi harus dicatat, bahwa tidak semua dalil syara’ mengandung ‘illat. Dengan kata lain, ada yang mengandung ‘illat, dan ada yang tidak.
Karena itu, kaidah Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid (mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan) bukanlah ‘illat hukum, sehingga bisa digunakan sebagai alasan untuk menolak kewajiban menegakkan Khilafah. Selain itu, kaidah ini juga bukan dalil, yang bisa digunakan untuk menolak kewajiban menegakkan Khilafah. Namun ia merupakan hikmah, yang merupakan hasil (natijah) dari penerapan syariat Islam, yang justru akan terwujud, ketika Khilafah itu tegak. Karena dengan adanya Khilafah, syariat Islam akan bisa diterapkan secara menyeluruh. Justru, keberadaan Khilafah merupakan salah satu dari delapan Maqashid as-Syari’ah yang bersifat vital.
Karena itu, sungguh aneh sekali, jika Maqashid as-Syari’ah, yakni Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid (mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan) digunakan untuk menolak kewajiban menegakkan Khilafah. Padahal kewajiban menegakkan Khilafah dinyatakan oleh dalil syara’, baik Al-Qur’an, As-sunnah maupun Ijma’ Sahabat. Bahkan telah menjadi konsensus para ulama tentang kewajibannya.
Menurut penjelasan Syekh Muhammad Husain Abdullah, dalam kitabnya, Mafahim Islamiyah, disebutkan bahwa kemaslahatan yang bersifat vital, yang merupakan hasil dari penerapan syariat Islam itu ada delapan, yakni menjaga agama (hifdh ad-din), menjaga jiwa (hifdh an-nafs), menjaga akal (hifdh al-‘aql), menjaga keturunan (hifdh an-nasl), menjaga harta (hifdh al-mal), menjaga kehormatan (hifdh al-karomah), menjaga keamanan (hifdh al-amn) dan menjaga negara (hifdh ad-daulah). Semua kemaslahatan tersebut akan terwujud, jika syariat Islam diterapkan secara menyeluruh dalam negara Khilafah.
Namun, jika sistemnya adalah sistem Kapitalis, dimana hukum-hukum Islam dipisahkan dan dicampakkan dari kehidupan, maka secara pasti delapan kemaslahatan tersebut tidak akan bisa terwujud. Bukti nyata banyaknya pelecehan terhadap agama, kemurtadan, penyebaran paham yang membahayakan aqidah, misalnya Moderasi Beragama, Pluralisme dan lain-lain, semua itu karena sistem Kapitalis. Ini bukti, bahwa agama Islam yang mulia dan suci ini tidak bisa dijaga kemuliaan dan kesuciannya.
Tingginya angka dispensasi nikah di Jawa Timur sepanjang tahun 2022 sebesar 15.881 dengan 80% didahului terjadinya kehamilan di luar nikah menunjukkan betapa tingginya angka perzinahan, bahkan terkesan dilegalkan dengan UU KUHP, karena termasuk delik aduan. Ini bisa terjadi karena sistem Kapitalisme tidak bisa menjaga keturunan.
Tingginya angka pembunuhan menurut data di e-MP Robinopsnal Bareskrim Polri, terdapat 700 kasus pembunuhan dan kejahatan terhadap jiwa manusia sejak Januari hingga 9 November 2022, dilegalkannya minuman keras yang merusak akal, liberalisasi ekonomi melalui UU cipta kerja yang mengakibatkan banyaknya kekayaan alam negeri ini dikuasai swasta dan asing, rakyat dipaksa dan diperas melalui pungutan-pungutan yang dilarang oleh Islam, pajak, BPJS dan sebagainya. Semuanya ini menunjukkan sistem Kapitalis ini tidak bisa mewujudkan delapan kemaslahatan vital bagi umat di atas.
Berbeda dengan sistem Khilafah, sejarah telah membuktikan, bahwa dulu di Spanyol selama 7 abad, tiga agama, Islam, Kristen dan Yahudi, dengan berbagai suku yang berbeda bisa hidup rukun di bawah naungan Khilafah. Ini diakui dan ditulis dengan tinta emas oleh sejarawan Amerika Will Durant yang mengatakan di dalam bukunya The Story of Civilization, ”Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapapun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setalah masa mereka ”
Bahkan orang-orang Kafir sangat menginginkan hidup di bawah naungan Khilafah. Sebagaimana dalam kitab Futuhu al-Buldan, sebagaimana dijelaskan:
Ketika pasukan islam sampai di lembah Jordan, dan militer Abu ‘Ubaidah berada di daerah Fahl, penduduk Kristen di negeri itu menulis surat ke bangsa Arab. Mereka mengatakan
“Wahai kaum Muslim, kalian lebih kami cintai daripada bangsa Romasi, meskipun mereka satu agama dengan kami. Kalian lebih menepati janji, lebih lembut terhadap kami, lebih bisa menahan diri untuk tidak medzalimi kami, lebih baik mengurusi kami. Sebaliknya, mereka (bangsa Romawi) menguasai kami dan tempat tinggal kami.”
Maksud dan Tujuan Khilafah
Menurut Syekh Muhammad Husain Abdullah, dalam kitabnya, Dirasat fi al-Fikri al-Islamiy, ada beberapa maksud dan tujuan Khilafah. Pertama, memelihara agama. Kedua, menerapkan hukum-hukum Islam. Ketiga, menjaga negara dan umat dari rongrongan. Keempat, menyebarkan Islam dengan dakwah dan jihad. Kelima, menghilangkan konflik dan perselisihan.
Sedangkan menurut Prof Doktor ‘Abdullah Ad-dumaji, dalam kitabnya, al-Imamah al-‘Udzma ‘Inda Ahli As-sunnah wa al-Jama’ah, menjelaskan bahwa imamah (Khilafah) memiliki dua tujuan utama, yaitu menegakkan agama dan mengatur urusan dunia dengan agama.
Menegakkan agama mencakup dua hal, yaitu menjaga agama dan menerapkan agama. Menjaga agama meliputi tiga hal, yaitu menyebarkan agama dengan tulisan, lisan dan senjata. Kedua, menolak dan memerangi syubhat, bid’ah dan kebathilan. Ketiga, menjaga wilayah dan menjaga perbatasan. Sedangkan menerapkan agama meliputi dua hal, yaitu menegakkan syariat, hudud dan menerapkan hukum. Kedua, membawa kaum Muslim melaksanakan agama dengan dorongan semangat maupun ancaman.
Beliau juga menjelaskan, bahwa imamah (khilafah) juga memiliki tiga tujuan cabang (maqashid far’iyyah), yaitu menegakkan keadilan dan menghilangkan kedzaliman. Kedua, mempersatukan dan meniadakan perpecahan. Ketiga, memakmurkan bumi dan memanfaatkan kekayaan alamnya untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim.
Penutup
Di antara tujuan khilafah adalah menerapkan hukum Islam secara menyeluruh. Hasilnya secara pasti akan mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun non Muslim, sebagaimana bunyi surat al-Anbiya: 107
رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ
…(Menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Yakni mencakup Muslim maupun Kafir. Maka, aneh jika upaya untuk menegakkan Khilafah ditolak dengan alasan Maqashid asy-Syari’ah.
Wallahu a’lam