“Jika kami kembali ke desa kami, kami pasti akan dibunuh oleh tentara. Jangan paksa kami kembali ke sana,”
Berton-ton makanan telah dikirim oleh banyak pihak untuk pengungsi Rohingya. Sejumlah lembaga kemanusiaan dari berbagai negara juga dari PBB juga terlibat di sana. Pemerintah Indonesia akhirnya menyalurkan bantuan logistik sebanyak 34 ton setelah didesak berbagai pihak.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi lebih dulu tiba ke Nay Pyi Daw, Myanmar untuk melakukan diplomasi politik. Retno bertemu dengan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal Senior U Min Aung Hlaing, dan memintanya untuk melakukan de-eskalasi situasi di Rakhine State. Ia juga meminta agar otoritas keamanan Myanmar perlu segera menghentikan segala bentuk kekerasan.
Selain Indonesia, pemerintah Turki juga melakukan diplomasi politik untuk membantu penyelesaian konflik Myanmar. Istri PM Turki Erdogan, Emine Erdogan langsung terjun menemui pengungsi Muslim Myanmar. Sementara itu pemerintah Turki selain meminta agar India dan Bangladesh membuka pintu perbatasan dan siap menjamin biaya hidup para pengungsi, mereka juga mengecam para pemimpin dunia Islam yang bungkam terhadap penderitaan Muslim Rohingya. Panglima Militer Turki, Hulusi Akar bahkan mengancam, “Jangan paksa kami menggunakan rudal untuk menghancurkan tentara Myanmar,” katanya.
Apa yang dilakukan dunia dan sebagian pemimpin dunia Islam memang membantu meringankan penderitaan Muslim Rohingya, namun tak menyelesaikan persoalan yang terjadi. Warga yang selamat tinggal di pengungsian namun tak bisa hidup seterusnya di sana. Hidup tak layak di kamp-kamp pengungsian dan sewaktu-waktu rawan diusir oleh negara yang menampung mereka. Dan bila dipulangkan ke daerah asal mereka di Myanmar, kemungkinan besar akan mengalami kekerasan (lagi). Seperti kata salah seorang warga Rohingya yang selamat, Lalu Begum, “Jika kami kembali ke desa kami, kami pasti akan dibunuh oleh tentara. Jangan paksa kami kembali ke sana.”
Muslim Rohingya butuh lebih dari sekadar bantuan logistik, tapi jaminan keamanan dan juga keadilan atas kejahatan keji yang menimpa mereka. Hal inilah yang tak bisa diberikan oleh PBB, lembaga kemanusiaan juga ironisnya oleh para pemimpin dunia Islam. Baik Jokowi maupun Erdogan memang sudah melakukan diplomasi politik namun tak membuat militer Myanmar menghentikan aksi genosida pada warga Muslim Rohingya.
Realita politik itu menunjukkan sikap ambigu para pemimpin dunia Islam. Spirit keislaman mereka terbelenggu oleh beragai faktor; nasionalisme juga tata aturan politik internasional yang melarang intervensi politik apalagi militer. Akhirnya umat Muslim di dunia hanya bisa meratapi berbagai kejahatan terhadap umat Muslim seperti di Suriah, Palestina dan kini Myanmar. Tak bisa mencegah dan membalas ketidakadilan yang menimpa saudara-saudaranya.
Kontras dengan negeri Paman Sam yang bebas melakukan intervensi politik bahkan militer ke negara mana saja. Dunia tak akan lupa bagaimana militer AS menjatuhkan Presiden Panama Manuel Noriega, pemimpin Irak Saddam Husayn dan pemimpin Libya Muammar Qadhaffi di dalam negeri mereka sendiri. Begitupula AS enteng saja mengirimkan ribuan militernya ke Irak dan Afghanistan lalu bercokol di sana sampai sekarang.
Sikap dunia Islam yang ambigu, dan betah bermain retorika atau hanya dengan bantuan logistik akhirnya memperpanjang derita umat Islam di berbagai belahan dunia. Muslim Rohingya akan bernasib sama seperti muslim Kashmir, Uighur, Palestina, atau Suriah. Menanggung penderitaan menahun.
Karenanya tak bisa disangkal lagi umat membutuhkan kekuatan riil di atas diplomasi politik. Mesti ada intervensi militer untuk menyelamatkan kaum muslimin yang ditindas. Umat membutuhkan institusi politik yang independen, tak terpengaruh tekanan asing dan aturan internasional yang mengebiri kekuatan umat. Umat tak bisa bergantung pada PBB bahkan OKI sekalipun.
Bila AS punya otoritas mengintervensi negara manapun sekehendak syahwat politik mereka, bersikap layaknya global cop, mengapa kaum muslimin tak punya keberanian untuk menyelamatkan saudara-saudara mereka sendiri? Justru malah tunduk pada lembaga internasional seperti PBB yang justru sering merugikan umat?
Saatnya berpikir out of the box dalam menyelesaikan krisis di dunia Islam. Diplomasi politik dan kecaman sudah tak mempan, dan bantuan logistik hakikatnya memperpanjang derita umat, mengapa kita tak berpikir untuk membangun institusi politik yang mandiri, yakni kekhilafahan?[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 204