Hakim Vonis Bersalah Farid Okbah karena ‘Sengaja’, Pakar: Kesengajaan Bagaimana?

Mediaumat.id – Pakar Hukum Pidana Dr. Abdul Chair Ramadhan mempertanyakan perihal unsur kesengajaan yang digunakan Majelis Hakim sebagai konstruksi dakwaan dalam memvonis masing-masing 3 tahun penjara kepada Ustadz Farid Ahmad Okbah, Ustadz Zain an-Najah, dan Ustadz Anung al-Hamat. “Kesengajaan yang bagaimana yang dimaksudkan oleh Penuntut Umum dan Majelis Hakim?” tanyanya kepada Mediaumat.id, Rabu (21/12/2022).

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) pada Senin (19/12) menjatuhkan vonis masing-masing tersebut terhadap mereka bertiga dengan persidangan yang terpisah.

Mereka didakwa dengan Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menentukan bahwa adanya 2 (dua) jenis tindak pidana, yaitu setiap orang yang ‘dengan sengaja’ memberikan bantuan dan memberikan kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

Lebih lanjut, Abdul Chair menyampaikan, dalam membuktikan kesengajaan sebagai tanda konkret kesalahan, maka harus diuraikan dahulu secara konstruktif dengan pendekatan kausalitas atas perbuatan yang dilakukan.

Artinya, kesalahan atas perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dibuktikan. “Pembuktian tidak hanya dengan keyakinan hakim belaka, akan tetapi harus juga berdasarkan minimal dua alat bukti yang telah diuji di persidangan,” terangnya.

Demikian itu telah diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: ‘Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.’

Lantas untuk menentukan adanya kesalahan, lanjutnya, harus memenuhi beberapa unsur salah satunya adalah adanya hubungan batin antara si pembuat (mens rea) dengan perbuatannya (actus reus) yang berupa kesengajaan (dolus/culpa).

Untuk itu, ia menegaskan, unsur kesengajaan berkedudukan sebagai tanda konkret adanya kesalahan. “Kesengajaan seseorang merupakan inti perbuatan (animus homis est anima scripti),” tegasnya.

Dengan demikian, dasar kesalahan yang harus dicari dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu dengan menyelidiki bagaimana hubungan batinnya itu dengan apa yang telah diperbuat.

Perlu diketahui, kesengajaan sendiri menurutnya mengandung tiga gradasi. Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan, kepastian atau keharusan, dan sebagai kemungkinan. “Ketiga sikap batin tersebut bersifat alternatif yang harus dikonfirmasi dengan perbuatan konkret yang terjadi,” tandas Abdul Chair.

Namun fakta di persidangan, ia tidak menemukan uraian pemenuhan unsur kesengajaan sebagaimana yang dimaksudkan. Padahal, sekali lagi, kedudukan kesengajaan merupakan bagian inti delik (bestandeel delict) yang secara tegas tercantum dalam rumusan delik.

Karenanya, kata Abdul Chair, semenjak awal perkara ini diproses banyak terjadi keganjilan. “Kesemuanya itu berujung pada dakwaan Penuntut Umum yang tidak mencerminkan pemenuhan unsur, baik unsur objektif maupun unsur subjektif,” tuturnya.

Dengan kata lain, putusan pengadilan hanya sepihak membenarkan tuntutan Penuntut Umum, namun meninggalkan tegaknya hukum dan keadilan.

Terakhir ia menyampaikan, diperlukan kajian khusus terhadap Pasal 13 huruf c undang-undang dimaksud untuk kemudian dilakukan judicial review pada Mahkamah Konstitusi. “Pasal tersebut demikian bias dan rawan menjadi alat kriminalisasi,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: