Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan bahwa opini yang telah terbentuk di masyarakat yang menyebut kelompok Saracen sebagai penyebar ujaran kebencian dan isu suku, agama, ras antargolongan (SARA) tidak terbukti. Hal itu disampaikan oleh hakim Riska, satu dari tiga hakim majelis saat membacakan amar putusan vonis terhadap Jasriadi yang disebut sebagai bos Saracen, di Pekanbaru, Provinsi Riau, Jumat (6/4).
Hakim Riska mengatakan, sejak kasus Saracen bergulir, banyak media menyebut bahwa Saracen merupakan kelompok penyebar kebencian dan SARA. Akibatnya, opini tersebut melekat di masyarakat hingga berakibat pada disintegrasi bangsa.
“Sejak kasus muncul di media, sudah terbentuk opini bahwa Saracen bersifat negatif untuk menyebarkan ujaran kebencian. Yang mengacu pada SARA, yang berakibat pada disintegrasi bangsa,” kata hakim Riska membacakan putusan dengan sidang yang dipimpin hakim ketua Asep Koswara.
Sementara itu, hakim Riska melanjutkan, berdasarkan fakta-fakta persidangan menyimpulkan bahwa tuduhan yang sejak awal kasus itu bergulir tidak terbukti. Jasriadi yang menjadi pengelola laman Saracen tidak terbukti mengunggah ujaran kebencian, termasuk menerima aliran dana ratusan juta rupiah seperti dituduhkan kepada pria 33 tahun tersebut.
Begitu juga terkait tuduhan bahwa Jasriadi membuat 800 ribu akun Facebook anonim untuk menyebarkan SARA dan ujaran kebencian. “Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap selama di persidangan, majelis hakim tidak menemukan fakta tersebut sebagaimana opini yang beredar selama ini,” katanya menambahkan.
“Terdakwa Jasriadi tidak terbukti menerima uang ratusan juta rupiah maupun membuat akun-akun anonim sebanyak 800 ribu. Bahwa menjadi tugas dan kewajiban majelis hakim untuk menilai kebenaran keterangan saksi dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh penyesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain dan penyesuaian alat bukti,” ujarnya lagi.
Kasus Saracen mencuat pada Agustus 2017 silam. Saat itu, Jasriadi ditangkap oleh Mabes Polri di kediamannya, Jalan Kasa, Kota Pekanbaru. Dia ditangkap setelah Polri menangkap dua orang lainnya, masing-masing Sri Rahayu Ningsih dan Muhammad Tonong.
Mereka disebut sebagai satu sindikat yang sama sebagai penyebar kebencian dan SARA. Jasriadi juga disebut sebagai ketua sindikat tersebut, yang juga dituduh menerima aliran dana hingga ratusan juta rupiah dari pihak tertentu.
Namun, ketika kasus bergulir ke kejaksaan, dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut umum (JPU) sama sekali tidak menyebut Jasriadi mengunggah ujaran kebencian, SARA, dan menerima aliran dana. JPU Kejaksaan Negeri Pekanbaru hanya mendakwa Jasriadi melakukan akses ilegal terhadap akun Facebook Sri Rahayu Ningsih, yang telah divonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Cianjur, Jawa Barat.
Selain itu, Jasriadi juga didakwa melakukan pemalsuan identitas diri. Dalam perkara manipulasi data ini, JPU sebelumnya menuduh terdakwa Jasriadi melakukan pemalsuan kartu tanda penduduk atas nama Suarni, lalu mengubah nama saksi Suarni menggunakan aplikasi Photoshop menjadi Saracen. Namun, hakim menyatakan dakwaan itu tidak terbukti.
Dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan Jasriadi hanya terbukti melakukan akses ilegal media sosial Facebook dengan hukuman 10 bulan penjara. Hakim Asep Koswara sebagai pimpinan majelis menyatakan Jasriadi terbukti melanggar Pasal 46 ayat (2) juncto pasal 30 ayat (2) UU ITE.
Meski kemudian hanya divonis rendah, Jasriadi dan kuasa hukumnya, Dedi Gunawan, tetap menyatakan banding. Jasriadi kepada awak media mengatakan akan menempuh langkah hukum lebih tinggi terkait putusan tersebut.
“Saya menolak atas putusan ini karena banyak hal yang bertolak belakang. Ini akan saya perjuangkan karena ini menyangkut jasa penyedia layanan dan jasa penggunanya,” ujarnya.[]
Sumber: Antara