Oleh: Budiharjo, S.H.I (Indonesia Justice Monitor)
Al-Qâdhi merupakan isim fa’il (kata benda pelaku) dari kata qadhâ–yaqdhî–qadhâ’an fahuwa qâdhin. Jadi, al-qâdhi secara bahasa adalah orang yang melakukan al-qadhâ’. Menurut Zainuddin Ibn Nujaim dalam Bahr ar-Râ’i’ secara bahasa al-qadhâ’ maknanya antara lain: keputusan, ketetapan, kelonggaran, binasa atau mati, pelaksanaan, penyelesaian, telah melaksanakan, membuat, menetapkan dan mewajibkan.
Sekalipun demikian, secara tradisi akhirnya istilah al-qadhâ’ lebih difokuskan pada makna yang berkaitan dengan praktik dan putusan peradilan. Syariah pun memutlakkan istilah al-qadhâ’ dalam masalah praktik dan putusan peradilan.
Adapun secara syar’i, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn Farhun dalam Tabshirah al-Hukâm, Ibn Rusyd yang dikutip oleh Abu Abdillah dalam Mawâhib al-Jalîl, ‘Alauddin ath-Tharablusi al-Hanafi dalam Mu’în al-Hukâm, al-Bahuti al-Hanbali dalam Kasyâf al-Qinâ’ dan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam Nizhâm al-Hukmi fî al-Islam, al-Qadhâ’ adalah al-ikhbâr bi al-hukm asy-syar’i ‘alâ sabîl al-ilzâm (pemberitahuan tentang suatu hukum syariah yang bersifat mengikat). Abu Abdillah dalam Mawâhib al-Jalîl (vi/86) menjelaskan bahwa yang dimaksud ikhbâr itu bisa disalahpahami sebagai ikhbâr lawan dari insyâ’, yang berkemungkinan benar atau dusta. Bukan itu maksudnya. Akan tetapi, maksudnya merupakan perintah Qadhi tentang suatu hukum syariah yang bersifat mengikat.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa al-qadhâ’ itu merupakan penyelesaian persengketaan di antara masyarakat, menghalangi apa yang bisa membahayakan hak jamaah serta menghilangkan perselisihan yang terjadi antara orang (rakyat) dengan seseorang yang ada dalam struktur negara baik dia seorang penguasa atau pegawai, seorang khalifah atau para pejabat dan aparatur di bawahnya.
Dalam banyak ayat dan hadis, Islam mewajibkan untuk memutuskan perkara dengan hukum-hukum syariah, misalnya dalam QS al-Maidah [4]: 48-49, an-Nur [24]: 48 dan lainnya. Kewajiban itu merupakan fardhu kifayah. Ibn Qudamah di dalam Al-Mughni mengatakan bahwa para ulama telah bersepakat atas pensyariatan al-qadhâ’. Mereka mengatakan bahwa pelaksanaan al-qadhâ’ itu merupakan bagian dari fardhu kifayah. Mereka beralasan bahwa urusan masyarakat tidak akan lurus tanpa al-qadhâ’ sehingga menjadi kewajiban kifâ’i seperti jihad dan imamah (khilafah).
Pada masa Rasul saw., beliau sendiri yang melakukan aktivitas al-qadhâ’. Beliau memutuskan perkara yang terjadi di tengah masyarakat, dalam berbagai perkara; dalam perkara pernikahan, masalah harta, muamalah dan ‘uqubat umumnya. Juga dalam masalah persengketaan yang terjadi di antara anggota masyarakat, seperti perselisihan Zubair dengan seorang Anshar tentang pengairan, perselisihan perwalian antara Sa’ad dan Abdu bin Zam’ah, dsb. Juga dalam masalah hisbah, yaitu pelanggaran terhadap hak jamaah seperti ketika beliau mendapati pedagang di pasar yang mencampur gandum basah dengan gandum kering. Juga dalam masalah mazhalim mengenai penetapan harga atau pengaduan atas panjangnya bacaan Muadz bin Jabal yang kala itu menjadi pejabat qadhi di Yaman.
Imam Muhammad Abu Faraj al-Qurthubi menghimpun sebagian dari keputusan-keputusan Rasul saw itu dalam bukunya, Aqdhiyah ar-Rasul, yang memuat sekitar seratus keputusan Rasul saw. dalam berbagai perkara.
Ketika kekuasaan Negara Islam makin luas, Rasul saw. mengangkat beberapa sahabat sebagai qadhi (hakim), baik untuk di Madinah yakni Umar bin al-Khathab, atau yang beliau tempatkan di beberapa daerah di antaranya: Muadz bin Jabal di daerah Janad, Ali bin Abi Thalib di daerah Yaman, ‘Utab bin Usaid di Makkah, Al-‘Ala’ bin al-Hadhrami di Bahrain dan Abu Musa al-‘Asy’ari di Yaman. Beliau juga mengangkat Ibn Mas’ud, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Hudzaifah ibn al-Yaman dan lainnya sebagai qadhi.[]