Hak – hak Pemimpin

 Hak – hak Pemimpin

Oleh: Boedihardjo, S.H.I

Menurut para ulama, imarah ada dua macam: imârah yang umum (imarah ‘amah) dan imârah khâshah. Imârah ‘amah mencakup berbagai urusan dan tidak dibatasi pada satu atau beberapa urusan tertentu. Imarah khashah dibatasi pada satu atau beberapa urusan atau pada wilayah tertentu.

Imarah ‘amah yang sebenarnya adalah Khilafah. Jabatan mu’awin tafwidh termasuk imarah ‘amah. Begitu juga wali atau ‘amil jika diberi wewenang yang umum dalam berbagai urusan, meski dibatasi dari segi cakupan wilayahnya. Namun, dilihat dari segi wilayahnya yang dibatasi, imârah mu’awin tafwidh, wali dan ‘amil itu bisa juga disebut imârah khâshah.

Adapun yang benar-benar imarah khashah di antaranya imârah dari amir pasukan, qadha’, amil zakat, amirul hajj, amir jamaah atau partai, dan amir safar.

Asal kewenangan imarah khalifah adalah asli dan pokok diperoleh melalui baiat umat dengan ridha dan ikhtiar. Adapun kewenangan imârah lainnya baik mu’awin tafwidh, wali, ‘amil, amir pasukan, qadha’, amil zakat dan amirul hajj diperoleh karena pendelegasian wewenang dari Khalifah/Amirul Mukminin.

Adapun kewenangan imarah amir safar dan amir jamaah/partai, merupakan kewenangan asli bukan dari pendelegasian, tetapi diperoleh dari anggotanya.

Wewenang imarah amir secara syar’i adalah mengatur urusan bersama yang menjadi dasar adanya imârah itu. Amir memiliki wewenang mengeluarkan perintah dan larangan yang bersifat mengikat dalam batas urusan, orang dan wilayah yang menjadi cakupan imarah-nya. Wewenang Amirul Mukminin adalah mengatur urusan seluruh rakyat di seluruh wilayah Daulah, termasuk penerapan hukum syariah secara praktis dan pelaksanaan ri’ayah syu’un.

Adapun imarah khashah, karena pendelegasian dari Amirul Mukminin, wewenangnya adalah dalam urusan dan wilayah yang didelegasikan kepada dia oleh khalifah. Wewenang amir safar terbatas pada urusan safar dan selama safar. Wewenang amir jamaah/partai adalah dalam hal kejamaahan/kepartaian terhadap anggota jamaah/partainya dan itu tidak mencakup penerapan hukum dan ri’ayah syu’un. Semua amir itu berwenang mengeluarkan perintah dan larangan yang mengikat dalam urusan bersama kelompok/perkumpulan itu.

Dalam hal imarah-nya itu, amir memiliki berbagai hak yang menjadi tanggungan orang yang dipimpin. Di antara hak terpenting adalah hak untuk ditaati. Banyak hadis yang menyatakan kewajiban taat kepada amir. Hadis-hadis itu bersifat umum, tidak dikhususkan untuk amir tertentu. Dengan demikian kewajiban taat itu mencakup kepada amir apa saja, termasuk amir safar dan amir jamaah, tentu dalam batas urusan bersama. Rasul saw. bersabda mengenai kewajiban taat itu:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِي مَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذاَ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Mendengar dan taat wajib atas setiap Muslim dalam apa yang dia sukai dan tidak dia sukai selama tidak diperintah untuk maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, tidak ada kewajiban mendengar dan taat (HR al-Bukhari dan Muslim).

Masih ada hak-hak amir lainnya yang menjadi tanggungan mereka yang dipimpin. Di antaranya adalah: tsiqah (percaya) dan husnuzhan kepada amir; menasihati amir; menjalankan keinginan amir sekalipun bukan merupakan ‘azimah (perintah tegas); berbicara kepada amir dengan sopan (adab) dan tidak menyinggung dia; tidak mengkhianati amir; sabar terhadap apa yang tidak disukai dari amir; memuliakan amir dan melindungi amir baik ia ada atau tidak ada (di tempat itu); menjaga rahasianya, tidak menyebutkan aib orang kepada amir kecuali dalam konteks syakwa dan kesaksian; dan menghilangkan kesusahan hati amir ketika dalam kesempitan.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *