Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi
Tanya :
Ustadz, bolehkah ibadah haji, umrah, atau kurban dihentikan sementara atau ditunda, dengan alasan agar dana untuk berbagai ibadah tersebut dapat dialihkan untuk kesejahteraan rakyat?
Farid, Bogor
Jawab :
Jika penundaan atau penghentian sementara tersebut merupakan sikap individu (perorangan) dan bukan merupakan kebijakan pemerintah atau kesepakatan suatu komunitas yang berlaku secara umum, maka secara syar’i hukumnya boleh dan tidak masalah.
Mengenai penundaan haji, termasuk juga umrah, meski haji hukumnya wajib, tapi menurut pendapat yang rajih (kuat) kewajiban ini bukan kewajiban segera (wajib ‘ala al faur), melainkan kewajiban yang dapat ditunda (wajib ‘ala at tarakhi).
Dalil bolehnya menunda haji adalah Sunnah. Karena haji telah diwajibkan tahun ke-6 Hijriyah, sedang Fathu Makkah terjadi tahun ke-8 Hijriyah. Namun faktanya Rasulullah SAW tak melaksanakan haji tahun ke-8 Hijriyah itu, padahal kondisi sudah memungkinkan karena Makkah sudah ditaklukkan. Rasulullah SAW baru melaksanakan ibadah haji bersama para sahabat dan para istri beliau tahun ke-10 Hijriyah. Ini adalah dalil bolehnya menunda haji. (Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, 7/103-104; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/11).
Menunda penyembelihan kurban hukumnya juga boleh. Sebab hukum menyembelih kurban menurut jumhur ulama adalah sunnah, bukan wajib. (Husamuddin ‘Ifanah, Al Mufashshal fi Ahkam Al Udh-hiyyah, hlm. 21). Dalil kesunnahannya sabda Rasulullah SAW, ”Apabila telah masuk sepuluh hari [pada bulan Dzulhijjah] dan salah seorang kamu berkehendak menyembelih [kurban], maka janganlah dia menyentuh rambut dan kulitnya [dari orang itu] sedikitpun.” (HR Muslim, no 1977). Imam Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata ,”Ini adalah dalil bahwa menyembelih kurban tidak wajib, berdasarkan sabda Rasulullah SAW “dan apabila salah seorang kamu berkehendak” (Arab : wa araada). Rasulullah SAW telah menjadikan penyembelihan kurban bergantung pada “kehendak” orang itu sendiri.” (Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, 8/386).
Berdasarkan penjelasan di atas, menunda ibadah haji, umrah, dan kurban hukumnya boleh. Namun hukum boleh ini adalah untuk individu (perorangan). Adapun jika penundaan atau penghentian sementara tersebut merupakan kebijakan pemerintah, atau kesepakatan suatu komunitas (desa, kota, dll), sehingga kemudian diberlakukan secara umum untuk masyarakat luas, hukumnya haram. Karena berarti penundaan atau penghentian tersebut telah menghapuskan syiar-syiar Allah (sya’airallah) yang hukumnya wajib untuk ditampakkan di tengah masyarakat.
Yang dimaksud syiar-syiar Allah (sya’airallah), adalah setiap tanda bagi eksistensi agama Islam dan ketaatan kepada Allah SWT. Seperti shalat jamaah, shalat Jumat, shalat Idul Fitri/Adha, puasa, haji, adzan, iqamat, dan sebagainya. Ibadah kurban juga merupakan bagian syiar-syiar Allah (sya’airallah), meskipun hukumnya sunnah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 26/97-98).
Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan, ”Wajib hukumnya atas kaum Muslim untuk menegakkan syiar-syiar Islam yang bersifat zhahir, dan juga wajib menampakkannya [di tengah masyarakat], baik syiar itu sendiri sesuatu yang hukumnya wajib maupun yang hukumnya sunnah.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 26/98).
Kewajiban menampakan syiar Islam tersebut dalilnya firman Allah (yang artinya),”Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al Hajj [22] : 32). Bahkan secara khusus penyembelihan kurban seperti unta disebut bagian dari syiar Allah, sesuai firman Allah (yang artinya),”Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar-syi’ar Allah.” (QS Al Hajj [22] : 36).
Maka dari itu, jika penundaan atau penghentian sementara ibadah kurban itu bukan dari individu tetapi kebijakan dari pemerintah, atau kesepakatan suatu komunitas, yang diberlakukan secara umum, hukumnya haram. Sebab penundaan atau penghentian ibadah tersebut berarti telah menghapuskan syiar-syiar Allah yang seharusnya wajib ditampakkan di tengah masyarakat. Wallahu a’lam.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 158