Mediaumat.info – Di tengah membeberkan setidaknya lima daftar pelanggaran etika yang dilakukan oleh Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilpres 2024, Romo Magnis menyebut perilaku nepotisme seorang presiden amat memalukan.
“Jika seorang presiden memakai kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh bangsanya untuk menguntungkan keluarganya sendiri, itu amat memalukan,” ujarnya dalam Sidang Sengketa Hasil Pilpres 2024, Selasa (2/4/2024) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
Untuk diketahui, seorang ahli filsafat sekaligus pastor, guru besar, dan penulis yang terlahir bernama Franz Graf von Magnis ini, hadir di persidangan dimaksud sebagai saksi ahli dari kubu 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Selain melanggar etika, kata Romo Magnis lebih lanjut, perilaku nepotisme itu telah membuktikan bahwa orang tersebut tidak mempunyai wawasan presiden ‘hidupku 100 persen demi rakyatku’ melainkan hanya memikirkan diri sendiri dan keluarganya.
Seperti diberitakan, berawal dari Putusan MK yang diketuai pamannya sendiri (saudara ipar Presiden Jokowi), yang sebelumnya telah mengabulkan gugatan uji materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang mensyaratkan usia untuk calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres dan Cawapres) paling rendah 40 (empat puluh) tahun, si sulung (anaknya Presiden Jokowi) yang baru berusia 36 tahun itu pun melenggang maju menjadi calon wakil presiden pada gelaran pilpres 2024.
Namun terlepas dari kronologi kontroversial yang diduga kuat juga melibatkan peran (baca: cawe-cawe) presiden sekaligus ayah dari calon dimaksud, Romo Magnis menjelaskan prinsip-prinsip dari etika itu sendiri. Menurutnya, etika termasuk ajaran dan keyakinan tentang baik dan buruk kualitas manusia sebagai manusia.
“Etika membedakan manusia dengan binatang. Binatang hanya ikuti naluri alamiah, tapi manusia sadar jika naluri alamiah bisa diikuti bila baik dan tak baik,” kata Romo Magnis lebih jauh.
Lantas di antara prinsip-prinsip yang ia beberkan, terdapat prinsip berkaitan etika dan penguasa dalam hal ini presiden. “Presiden tak cukup cuma bertindak tak melanggar hukum,” ungkapnya, tentang prinsip dimaksud.
Dengan kata lain, seorang presiden dituntut lebih dan bisa memberi perintah menentukan keselamatan dan kegagalan hidup dan mati seseorang.
Karena itu, agar masyarakat ketika mempercayakan dirinya ke penguasa merasa aman, seorang presiden harus membuktikan diri sebagai orang yang baik, bijaksana, jujur dan adil. Hal ini berarti pula seorang penguasa tertinggi harus dituntut memiliki etika yang juga tinggi.
Terlebih, presiden adalah penguasa atas seluruh masyarakat, bukan hanya milik mereka yang memilihnya. Karena itu ada hal khusus yang dituntut dari sudut etika dengan tidak menggunakan kekuasaan untuk kepentingan dan keuntungan kelompok atau keluarga sendiri.
“Fatal jika ada kesan presiden memakai kekuasaan demi keuntungan sendiri atau keuntungan keluarganya,” tandasnya.
“Kalau dia berasal dari satu partai, begitu dia jadi presiden tindakannya harus demi keselamatan semua,” tambah Romo Magnis.
Untuk itu, prinsip kegawatan pelanggaran etika menurutnya juga penting. Ia pun turut mengutip pernyataan seorang filsuf terkenal Immanuel Kant yang mengatakan masyarakat akan menaati pemerintah bila pemerintah bertindak atas dasar hukum yang berlaku yakni adil dan setara.
Sebaliknya, Romo Magnis berpendapat jika penguasa bertindak tidak atas dasar hukum dan memakai kuasanya hanya untuk menguntungkan kelompok, kawan dan keluarganya sendiri, maka motivasi masyarakat untuk menaati hukum akan hilang.
Tak ayal, sembari menyoroti pembagian bantuan sosial (bansos) yang disinyalir justru dalam rangka kampanye paslon yang mau dimenangkannya, presiden juga dinilai sudah kehilangan wawasan etika dasarnya tentang jabatan sebagai presiden.
“Itu juga tanda bahwa dia sudah kehilangan wawasan etika dasarnya tentang jabatan sebagai presiden bahwa kekuasaan yang dia miliki bukan untuk melayani diri sendiri, melainkan melayani seluruh masyarakat,” pungkasnya. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat