Sungguh menggelikan, pemerintah memaksakan diri membeli 51 persen saham Freeport, padahal bila tidak diperpanjang kontraknya, 3 tahun lagi juga 100 persen tambang emas di Papua tersebut kembali ke pangkuan Indonesia. Apakah ini menunjukkan lemahnya pemerintah? Mengapa? Apa yang seharusnya dilakukan? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Adakah Anda melihat pemerintah lemah di hadapan Freeport?
Ya, tampak sekali.
Bentuk-bentuk kelemahannya apa saja?
Pertama, menurut UU Minerba mereka harusnya tidak boleh ekspor konsentrat, tapi tetap saja pemerintah dengan berbagai alasan berulang mengizinkan mereka melakukan hal itu. Padahal kita semua tahu, di dalam konsentrat itu terdapat kandungan mineral logam seperti emas, perak, tembaga bahkan uranium yang sangat berharga.
Kedua, masih menurut UU Minerba, mestinya mereka membangun smelter di negeri ini untuk mengolah konsentrat tadi agar didapat nilai tambah yang lebih tinggi dan barang jadinya baik berupa emas, perak, tembaga dan lainnya lebih bisa dinilai. Tapi sudah hampir 10 tahun sejak UU itu diundangkan di tahun 2009, smelter itu tak kunjung diwujudkan. Bukannya memaksa Freeport untuk segera membangun smelter, pemerintah malah membiarkan mereka terus mengekspor konsentrat itu hingga sekarang.
Ketiga, ini yang paling memprihatinkan. Pemerintah bukannya menghentikan Kontrak Karya (KK) II yang bakal berakhir 2021 nanti, malah memperpanjangnya hingga 2041. Bahkan pemerintah mau-maunya mengeluarkan dana sangat besar untuk melakukan divestasi 51persen saham PT Freeport. Padahal bila tahun 2021 nanti KK II itu diakhiri, mustinya kita bisa mendapat seluruh persen tambang di sana tanpa harus mengeluarkan dana sepeser pun. Sebaliknya merekalah yang harus membayar bila ingin memiliki 49 persen saham. Kini, mengapa malah kita yang harus mengeluarkan duit untuk barang yang sejatinya milik kita sendiri?
Faktor apa saja yang membuat pemerintah lemah di hadapan Freeport?
Setidaknya ada dua faktor. Pertama, adanya tekanan dari pihak AS agar Freeport tetap bisa beroperasi di Papua dengan ancaman macam-macam. Pemerintah AS tahu, Freeport adalah sumber uang yang sangat besar. Karena itu, mereka tidak mau ini barang lepas begitu saja. Menurut ketentuan KK II yang dimulai pada tahun 1991, dan akan berakhir tahun 2021, Freeport punya hak mendapatkan perpanjangan 2 kali 10 tahun, atau totalnya hingga tahun 2041. Nah, sebelum habis kontrak itu, mereka ingin mendapatkan perpanjangan itu karena mereka tahu persis besarnya kandungan emas di sana.
Beberapa tahun lalu saya pernah jumpa dengan salah satu VP (Vice President) PT. Freeport. Ia menceritakan, PT Freeport baru saja menginvestasikan 125 Juta USD (hampir Rp 2 triliun) untuk kegiatan pengembangan eksplorasi yang dilakukan jauh keluar area kerja mereka sekarang ini hingga mencapai puncak Soekarno. Hasilnya, sangat mengejutkan. Di sana ditemukan emas yang kandungannya jauh lebih besar dari apa yang mereka dapatkan selama ini, yaitu 200.000 ounce emas/hari. Tentu saja mereka tidak mau kehilangan peluang yang sangat menggiurkan itu.
Kedua, karena lemahnya pemerintah Indonesia di hadapan mereka. Kelemahan ini disebabkan pemerintah tidak sungguh-sungguh ingin mengembalikan tambang yang luar biasa besar ini ke pelukan kita sebagaimana mestinya. Justru mereka menjadikannya sebagai sumber dana politik. Semua tahu, tahun depan ada pileg dan pilpres. Mereka tentu memerlukan dana sangat besar untuk bisa memenangkan kontestasi politik itu.
Bagaimana solusi Islam dalam menyelesaikan masalah Freeport?
Menurut Islam, barang tambang yang jumlah kandungannya sangat melimpah seperti yang saat ini dikelola oleh Freeport adalah milik umum atau milik rakyat. Negara harus mengelolanya agar hasilnya nanti digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal, diceritakan suatu saat Abyad meminta kepada Rasulallah SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul mulia yang memang pemurah meluluskan permintaan itu. Tapi segera diingatkan oleh sahabat yang lain. “Wahai Rasulullah, tahukah Engkau, apa yang telah Engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya Engkau telah memberikan (bagaikan) air mengalir (ma’u al-‘idda)”. Berkata (perawi), “Beliau menarik kembali tambang tersebut darinya”.
Keputusan Rasul, yang di lain kesempatan mengingatkan kita untuk jangan menarik lagi pemberian kepada orang lain, tapi kali itu justru dengan tegas menarik kembali pemberian kepada Abyad, menunjukkan bahwa tidak semestinya barang tambang yang kandungannya sangat banyak itu dikelola oleh individu atau kumpulan individu (perusahaan) karena hasilnya pasti hanya akan dinikmati oleh segelintir orang seperti yang selama ini terjadi di Freeport dan di banyak tempat lain. Ini jelas bertentangan dengan prinsip kepemilikan umum (milkiyah ammah).
Bagaimana langkah-langkahnya dalam pelaksanaan solusi tersebut…
Pertama, barang tambang itu harus sepenuhnya di bawah kendali pemerintah. Tahun 2021 sebenarnya adalah momentum yang sangat tepat untuk melepaskannya dari cengkeraman Freeport. Caranya, ya jangan diperpanjang. Bila dengan putusan itu, sesuai perjanjian, pemerintah harus membayar semua aset di atas permukaan yang konon bernilai sekitar 6 miliar dolar Amerika, bayar saja. Toh, setelah itu tambang itu menjadi milik kita sepenuhnya. Dana yang dikeluarkan tentu akan cepat kembali.
Dan bila karena putusan itu Freeport menggugat di lembaga arbitrase internasional?
Hadapi saja dengan gagah berani. Itu risiko.
Kedua, pemerintah harus segera membentuk semacam badan usaha milik negara (BUMN) atau bisa memerintahkan BUMN yang ada, untuk mengelola tambang tersebut agar kontinuitas pengelolaan tambang tersebut terjaga sehingga tidak menimbulkan gejolak ekonomi maupun sosial akibat jeda yang terlalu lama.
Ada anggapan bahwa Indonesia belum mampu mengelola sendiri, baik secara teknologi, keuangan maupun manajemen. Tanggapan Anda?
Itu anggapan yang muncul dari mentalitas inferior. Memang itu tambang sangat besar, juga memerlukan investasi dan teknologi yang tinggi. Tapi, insya Allah kita mampu. Toh selama ini hampir 100 persen tenaga kerja yang mengelola tambang itu juga adalah orang Indonesia. Dengan pengalaman sekian lama, yang juga dimiliki oleh Aneka Tambang, BUMN di bidang penambangan mineral, insya Allah bisa. Teknologi bisa dipelajari atau bisa juga dibeli.
Dapatkah solusi Islam tersebut diterapkan dalam sistem yang berlaku sekarang?
Sebagiannya bisa. Sebagiannya mungkin belum bisa. Pengelolaan sepenuhnya di bawah kendali pemerintah saya kira bisa dilakukan sekarang. Tapi sepenuhnya terbebas dari pengaruh asing, mungkin belum bisa karena bagaimana pun kekuatan asing jauh di atas kita. Lain hal bila kita umat Islam seluruh dunia bersatu. Saat itulah kita betul-betul bisa mandiri karena kita kuat.
Kapan hal itu bisa diharapkan terwujud?
Ketika khilafah tegak. Salah satu urgensi khilafah selain untuk penerapan syariah secara kaffah adalah untuk terwujudnya persatuan umat Islam seluruh dunia.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 223