Mediaumat.id – Sebagaimana menjaga kewajiban lain dalam agama, umat Islam pun semestinya turut berkontribusi menegakkan khilafah sesuai kadar kesanggupan. “Kaum Muslim mestinya berkontribusi dan berpartisipasi semampu mereka sesuai dengan kadar kesanggupan mereka,” tutur Khadim Ma’had Daarul Ma’arif Banjarmasin Guru Dr. Wahyudi Ibnu Yusuf, S.Pd., M.Pd., kepada Mediaumat.id, Kamis (22/12/2022).
Hal itu ia utarakan untuk menanggapi isu menolak khilafah sebagai sistem pemerintahan, yang bakal dibahas dan dijadikan konsensus di dalam sebuah muktamar yang puncak acaranya, Januari 2023 mendatang di Jakarta.
Ia menilai, agenda tersebut sebagai bagian dari grand strategy Barat untuk menghalangi tegaknya Islam. Maka itu, sebagai Muslim yang kebetulan dipahamkan terlebih dahulu akan pentingnya sistem khilafah, wajib memberikan penjelasan kepada panitia.
Dengan kata lain, jangan sampai mereka berkontribusi pada penghalangan penghadangan, penegakan kewajiban dari Allah dan Rasul-Nya ini.
Menurutnya, mereka bukan berhadapan dengan para pengemban dakwahnya, tetapi lebih dari itu, akan berhadapan dengan Allah SWT dan Rasul-Nya. “Pada saat itu berarti mereka berhadapan dengan Allah dan Rasul-Nya,” tandasnya.
Sementara, kepada kaum Muslim pada umumnya pun demikian. “Kita pahamkan mereka tentang bahaya kegiatan ini yang disadari atau tidak itu adalah bagian dari grand strategy Barat, menghalangi bangkitnya Islam dan kaum Muslim,” tegasnya lagi.
Mujma’ ‘Alaih
Guru Wahyudi menerangkan, dalam Islam terdapat perkara mujma’ ‘alaih atau yang disepakati. Dan mukhtalafih atau yang memang terdapat perbedaan pendapat di dalamnya.
Sementara berkaitan dengan kewajiban menegakkan khilafah, kata Guru Wahyudi, termasuk perkara mujma’ ‘alaih. “Sejak generasi awal sudah terjadi ijma’ akan wajibnya mengangkat seorang imam. Imam di sini maknanya sebagaimana disebut oleh Imam Nawawi adalah khalifah,” paparnya.
“Sistem pemerintahannya adalah khilafah atau imamah atau istilah lain yang mengacu pada definisi itu, dan pemimpinnya adalah khalifah atau amirul mukminin atau imam,” imbuhnya, menegaskan.
Sekadar diketahui, lanjutnya, yang menjadi ketua panitianya adalah Ulil Abshar Abdalla, seorang tokoh Islam liberal di Indonesia yang berafiliasi dengan Jaringan Islam Liberal (JIL).
Bahkan, menurut Guru Wahyudi, ia adalah pentolan dari JIL yang tahun 2000-an sangat aktif dan getol menyebarkan ide-ide liberal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah dan syariat Islam. “Seperti kesetaraan gender, demokrasi kemudian rekonstruksi bahkan pada dekonstruksi fiqih yang itu sudah mapan seperti fiqih waris, dsb.,” bebernya.
Makanya disadari atau tidak, kegiatan tersebut dilatarbelakangi oleh genderang permainan yang memang ditabuh oleh para negara-negara kafir imperialis yang dikomandani oleh Amerika Serikat (AS). “Mereka menyadari betul, para analis politik dalam dan luar negeri Amerika itu menyadari bahwa the end of history itu akan berhadapan dengan Islam politik,” sebutnya.
Di sisi lain, Guru Wahyudi juga menyampaikan, kebangkitan Islam akan menyanggah pendapat Fransiskus Fukuyama sebagaimana keterangan di dalam artikel jurnalnya berjudul The End of History, yang ternyata sekali lagi, secara teologis empiris faktual, kaum kapitalis global menghadapi sebuah kenyataan bahwa umat Islam hari ini sedang menuju pada proses kebangkitan.
Secara teologis, jelasnya, dalam sejumlah ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW dijelaskan bahwa umat Islam ini akan kembali memimpin dunia.
Sedangkan secara empirik faktual, sambungnya, umat Islam hari ini sedang mengarah kepada kebangkitan itu. “Kita bisa lihat dari bertambahnya populasi umat Muslim,” bebernya.
Ditambah semakin viralnya tema tentang khilafah sebagai sistem politik yang akan menyatukan seluruh kaum Muslim. “Yang terakhir kita bisa lihat ada tren untuk berpindah agama kepada Islam di event Piala Dunia yang dilaksanakan di Qatar,” ucapnya.
Menurutnya, fakta-fakta tersebut bakal ‘menjegal’ tesis akhir peradaban kapitalisme seperti pendapat Fukuyama tadi.
Maka tak heran, dengan keyakinan itu pihak Barat imperialis kemudian berusaha menjegal kebangkitan Islam, berikut upaya menanamkan berbagai pemahaman yang bisa membendung kembalinya persatuan umat Islam dalam satu kepemimpinan dimaksud.
Sebagaimana pula pernyataan George Bush, mantan presiden AS yang mengatakan, singgung Guru Wahyudi, untuk bisa menjaga kepentingan Amerika dalam jangka panjang maka harus menyebarluaskan prinsip kebebasan dan demokrasi.
Maka itu, dikarenakan sistem khilafah yang notabene sebagai institusi pelaksana syariah yang jauh dari nilai-nilai itu, maka harus dihadang. “Sistem khilafah sebagai institusi pelaksana syariah itu jelas berhadapan secara konseptual dengan demokrasi, maka harus dihadang,” tandasnya.
Semisal, sebut Guru Wahyudi, dengan menjelma atau berkamuflase dengan istilah kearifan lokal, multikulturalisme, yang substansi sebenarnya mengerucut pada prinsip kebebasan dan demokrasi tadi.
Oleh karenanya, apabila nantinya terbentuk konsensus terkait menolak khilafah, mendudukkan kembali hubungan antara hukum syariat dengan hukum positif negara, kedudukan negara bangsa, serta persoalan perang dan damai, pungkas Guru Wahyudi, itu semua tidak bisa membatalkan kewajiban penegakan khilafah serta semua ketentuan di dalamnya.[] Zainul Krian