Guru Taufik: Tanah Rempang Semestinya Jadi Hak Warga Setempat

Mediaumat.id – Menyikapi polemik status tanah Rempang, Batam, Kepulauan Riau, dari sudut pandang Islam, Pengasuh MT Darul Hikmah Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Guru Muhammad Taufik Nusa Tajau menyampaikan, semestinya menjadi hak warga setempat.

“Mestinya ya, tanah mereka miliki turun-temurun itu ya tetap hak (milik) mereka,” ujarnya dalam Kajian Ba’da Maghrib: Menyikapi Kasus Rempang Secara Syar’i, Selasa (19/9/2023) di kanal YouTube MT Darul Hikmah Banjarbaru.

Pasalnya, seperti diketahui bersama, masyarakat adat khususnya di 16 Kampung Melayu Tua, wilayah terdampak dan terancam penggusuran, telah menghuni daerah itu sejak ratusan tahun sebelum negeri ini menyatakan kemerdekaannya.

Sementara, secara syariat Islam, sambung Guru Taufik, siapa saja asal dia rakyat, ketika menghidupkan tanah mati atau tak bertuan, maka, secara syar’i tanah itu menjadi miliknya. “(Secara syar’i) tanah itu bisa dimiliki dengan cara digarap (dihidupkan).” jelasnya.

Tak hanya itu, proses hingga menjadi hak milik secara syar’i ini wajib dijaga secara syar’i juga. Meski tidak ada sertifikat hak milik warga sekalipun.

“Wajib dijaga secara syar’i, enggak boleh dirampas gara-gara itu enggak ada sertifikatnya, enggak begitu,” tandasnya, yang berarti negara harus memfasilitasi proses pengurusan bukti kepemilikan tersebut jika memang diperlukan.

Hal ini sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW sebagai penguasa Madinah, yang memberikan tanah di Wadi (palung sungai kering yang hanya mengandung air selama hujan lebat) ‘Aqiq, Madinah, kepada Az-Zubair bin al-‘Awwam, seorang sahabat miskin kala itu.

Sehingga, kendati agak panjang penjelasannya, menurut Guru Taufik kembali, yang jelas ada ketentuan di dalam Islam mengenai wewenang negara untuk memberikan jenis-jenis tanah tertentu kepada rakyatnya.

Pun di era Kekhalifahan Umar bin Khattab. Ketika itu, negara malah bisa mengambil tanah yang ditelantarkan pemilik selama 3 tahun.

Meski, sambung Guru Taufik, tanah yang ditelantarkan tersebut sudah dipagari sekalipun.

“Ini sudah dimiliki tapi sudah dipagari saja, enggak digarap. Maka menurut Hanafiyah dan mazhab yang lain, kalau enggak digarap maka bisa diambil negara, itu betul,” terangnya, sembari menyampaikan prinsip dari suatu lahan adalah untuk dikembangkan.

Maknanya, apabila terdapat tanah ditelantarkan selama 3 tahun, meski sudah dipagari/patok batas misalnya, negara boleh mengambil untuk selanjutnya diberikan kepada rakyat yang bersedia menggarapnya.

Batil

Melansir pernyataan Syekh Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Burnu di dalam kitab Al-Mausu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, tindakan negara yang memberikan konsesi atas Pulau Rempang ke pihak lain termasuk perbuatan batil.

Maksudnya, menyerahkan penguasaan lahan oleh negara, padahal sebelumnya telah dihuni warga sehingga secara syar’i menjadi hak milik, terkategori perbuatan memakan harta sesama dengan cara batil.

Maka, seperti diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW mewanti-wanti kepada siapa pun tentang perlunya memiliki kehati-hatian dalam memperoleh rezeki. Jangan sampai rezeki yang didapat itu justru diperoleh dengan cara-cara batil semisal mengambil hak orang lain.

“Barang siapa yang aku putuskan baginya, padahal itu hak seorang Muslim maka itu adalah sepotong dari api neraka. Maka silakan ambil kalau mau makan api neraka atau dia tinggalkan,” demikian penggalan bunyi hadits dimaksud.

Ditambah, masih di riwayat sama, mengambil hak seputar tanah atau lahan orang lain, Rasulullah SAW juga mengingatkan, ‘Barangsiapa yang mengambil hak orang lain walau hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan ke lehernya (pada hari kiamat nanti) seberat tujuh lapis bumi’.

Keberkahan dalam Islam

Dengan demikian, umat lantas bisa melihat apabila hukum Islam diterapkan khususnya terkait pertanahan, maka keberkahan pun muncul.

Tengoklah suatu wilayah di Afrika ketika dahulu berada di bawah kekuasaan Kekhilafahan Islam. Wilayah dimaksud, kata Guru Taufik, menjadi lumbung gandum.

Bertolak belakang dengan kapitalisme seperti saat ini. Ratusan bahkan ribuan hektare lahan berikut hak milik warga secara syar’i semisal, bisa dengan mudah beralih kepemilikan kepada pengusaha atas nama undang-undang. Salah satunya yang terjadi di Rempang.[] Zainul Krian

Share artikel ini: