Guru Dilantik Jadi Kepala Sekolah, Tapi Sekolahnya Tidak Ada, Analis: Bukti Karut Marutnya Pengelolaan Negara
Mediaumat.news – Seorang guru di Minahasa Utara, Sulawesi Utara yang dilantik menjadi kepala sekolah SD Negeri Kecil Warukapas, namun ternyata sekolahnya tidak ada, dinilai Analis PKAD Fajar Kurniawan sebagai bukti karut marutnya pengelolaan negara. “Saya kira ini sebenarnya menjadi salah satu bukti bahwa pengelolaan negara ini sudah karut marut,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Ahad (3/10/2021).
Menurutnya, tidak ada keterpaduan antara data dan fakta di lapangan. “Bagaimana mungkin seseorang diberikan amanah mengelola sebuah sekolah tapi kemudian sekolahnya tidak ada? Ini kan sudah parah sekali. Kalau boleh dibilang negara ini diatur dengan ala kadarnya,” ujarnya.
Ia mengatakan, seharusnya sebelum dilakukan pelantikan, pihak terkait mengecek terlebih dahulu data di lapangan. “Antara kebijakan, program dan pelaksanaan di lapangan itu tidak ada keterpaduan. Apa yang menjadi kebijakan di tingkat pusat itu tidak bisa serta merta diterjemahkan dengan baik di daerah,” ungkapnya.
“Ini menunjukkan buruknya riayah atau pelayanan pemerintah kepada rakyatnya terutama terkait pendidikan. Jabatan hanya dijadikan sebagai tempat mencari nafkah bukan pengabdian atau pelayanan terhadap masyarakat. Jika jabatan dijadikan wasilah atau sarana pelayanan terhadap masyarakat tentu hal seperti ini tidak terjadi,” tambahnya.
Fenomena Gunung Es
Fajar menduga ini fenomena gunung es karut marutnya dunia pendidikan di Indonesia. “Patut diduga bahwa hal seperti ini tidak hanya satu ini. Ini hanya symptom saja. Tanda-tanda saja. Saya kira banyak karut marut lain misalnya terkait dengan kualitas guru, kualitas pengajarannya, kualitas siswa atau output dari hasil pembelajaran dan sarana-sarananya,” bebernya.
Ia melihat, sering diberitakan akses menuju ke sekolah di daerah sangat tidak layak. Banyak siswa ke sekolah itu untuk menuju ke sekolah bertaruh dengan hidup. Dia menyeberangi jembatan yang tidak utuh. Bukan seperti jembatan, tapi hanya sekadar sarana penyeberangan yang tidak layak. Ada juga siswa yang ke sekolah naik motor bisa enam sampai delapan orang.
“Ini kan bahaya. Artinya masih banyak sekali akses-akses infrastruktur yang belum diperhatikan,” ungkapnya.
Menurutnya, aparat negara lebih fokus pada infrastruktur monumental tapi mengabaikan layanan-layanan seperti akses jalan ke sekolah. “Padahal dalam perencanaan pembangunan itu sudah ada Musrenbangdes, Musrenbang tingkat kecamatan dan kabupaten. Tapi kenapa kita selalu gagal memotret kebutuhan esensial yang ada di bawah?” sesalnya.
Perubahan
Oleh sebab itu, menurutnya, perlu perubahan yang paradigmatis, perubahan cara pandang. Seorang pejabat negara atau pengemban amanah ini harus memberikan pelayanan yang prima bagi masyarakat.
Menurut Fajar, pelayanan prima ini sangat penting karena mereka akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah SWT. Untuk bisa memahami hakikat jabatan itu sebuah amanah maka ini hanya bisa lahir dari doktrin keimanan yang kuat. Keimanan bahwa amanah itu wajib ditunaikan dengan segala kemampuan yang dilakukan.
“Jika dia punya keimanan yang kuat maka dia paham amanah itu akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat. Di dunia dinilai atasannya sementara di akhirat akan dihisab oleh Allah SWT,” bebernya.
Ia menilai, sistem yang memiliki paradigma seperti hanya Islam. “Karena Islam dimensinya dunia dan akhirat. Sementara sistem sekuler, hanya memandang sesuatu dari dunia saja. Hanya bertanggung jawab pada atasannya namun abai dengan pertanggungjawabannya kepada Allah,” ujarnya.
“Kalau kita ingin para pejabat negara mempunyai sense pelayanan yang tinggi maka harus dibangun dulu paradigma keimanan secara kuat. Menyadari dari mana manusia berasal. Menyadari untuk apa manusia hidup di dunia dan menyadari kemana manusia setelah mati. Dengan keimanan yang kuat itu, maka ia akan memandang amanah ini bukan hanya berdimensi amalan dunia tapi juga di akhirat sehingga ia akan menjalankan amanah itu dengan sebaik-baiknya,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it