Mediaumat.id – Menyikapi gagalnya acara Transpuan Dress Competition di Royal Plaza, Surabaya, Jawa Timur, Ketua Gabungan Umat Islam Bersatu (GUIB) Ustadz Muhammad Yunus Ali Al Basyailan S.IP., M.Pd. menegaskan bahwa pemerintah dan para terkait harus serius menangani bahaya perusakan akhlak dan moral.
“Kami meminta kepada pemerintah khususnya Provinsi Jawa Timur, Polda Jawa Timur, Forum Pimpinan Jawa Timur, para terkait untuk serius menangani bahaya perusakan akhlak dan moral masyarakat,” tegasnya dalam Live: Usai Transpuan Dress Competition Saat Gempa Cianjur Gagal, AS Kirim Delegasi LGBTQI, Kamis (1/12/2022) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Keseriusan yang dimaksud di sini, menurut Ustadz Yunus adalah memberikan perlindungan bagi warganya (warga Jawa Timur) dari bahaya perusakan akhlak dan moral, seperti transpuan, transpria, atau transgender.
“Serius pakai bold artinya ada keseriusan yang betul untuk melindungi warganya, jangan sampai anak-anak itu moralnya rusak, akhlaknya rusak, perilakunya berubah menjadi lebih welcome terhadap mereka,” ujarnya.
Ia mengungkapkan kondisi sekarang tidak baik-baik saja, seperti persoalan yang berkaitan dengan maraknya LGBT yang telah mengamuflase dengan istilah transpuan atau transpria atau transgender.
“Kita harus memasang radar, jangan sampai luput dari perhatian terutama persoalan-persoalan yang berkaitan dengan maraknya LGBT, mengamuflase dengan istilah transpuan atau lainnya, padahal sama bermuara pada penyakit patologi,” ungkapnya.
Ia menilai, keadaan transpuan ini merupakan penyakit yang harus sembuhkan dan harus diberikan penyadaran kepada para pihak termasuk pemerintah, aparat keamanan, instansi terkait agar menyembuhkan mereka (transpuan) tetapi sekarang ini malahan di advokasi.
“Nah, aneh kan ini, justru mengadvokasi yang menyebabkan mereka mendapat legitimasi bahwa dia itu wajar-wajar saja, akhirnya pemerintah, aparat penegak hukum menganggap ini biasa maka masyarakat juga akan biasa,” bebernya.
Akhirnya masyarakat abai dan ia mengkhawatirkan abainya masyarakat mendatangkan adzab dari Allah SWT, seperti likuefaksi dan tsunami di Palu, dapat terjadi di Surabaya.
“Kita meminta agar pemerintah serius untuk menolak permohonan mereka (Transpuan Dress Competition) dan melindungi masyarakat dari dampak negatif yang diakibatkan oleh kegiatan ini,” ucapnya.
Kegiatan ini seperti test the water, jika tidak ada gejolak atau riak maka, menurutnya, akan terselenggara, sehingga GUIB, GAMIS, termasuk ICMI berdiskusi dan menghubungi pihak panitia penyelenggara, tempat penyelenggaraan Royal Plaza, dan aparat keamanan.
“Agar acara itu dibatalkan, tidak hanya dibatalkan sebatas lisan saja tapi dengan membuat surat pernyataan bahwa tidak akan menyelenggarakan kegiatan tersebut,” ujarnya.
Ia mengatakan transpuan ini adalah laki-laki yang berorientasi kewanita-wanitaan. Keberadaannya didukung oleh tenant-tenant besar dari asing dengan kampanyenya yang terselubung.
“Tenant-tenant besar ini menjadi bagian dari kampanye terselubung yang memberi support membanjiri media sosial dengan kegiatan-kegiatannya,” katanya.
Dunia sekarang ini lagi ada warning lampu merah terkait dengan relasi hubungan antar manusianya. Ada grand design agenda yang cukup besar dari pihak-pihak tertentu untuk membuat semacam skenario agar mereka bisa menguasai dunia.
“Dengan cara mengendalikan mereka terkait dengan perilakunya, orientasinya, paradigmanya, bisa jadi ada di belakang itu dikaitkan dengan new world order yang mereka inginkan oleh pihak-pihak tertentu, di antaranya melalui orientasi seksual ini tidak mungkin masif kecuali di back up oleh kekuatan-kekuatan besar,” ungkapnya.
Ustadz M. Yunus berpendapat, solusi di Indonesia dengan kebijakan-kebijakan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sudah cukup bagus untuk menangani kasus-kasus ini.
“Dilarang laki-laki menggunakan pakaian wanita, dilarang tampil di televisi kebanci-bancian, hanya saja saya masih belum melihat bidang-bidang lain lebih konsern untuk menangani kasus-kasus ini,” ucapnya.
Ia mengkritisi munculnya kasus Transpuan Dress Evening Competition disebabkan tidak adanya komitmen bersama antara kebijakan yang dilakukan oleh KPI dengan lembaga-lembaga sejenisnya.
“Ini menjadi salah satu perhatian, mestinya kebijakan terhadap tampilan-tampilan yang bisa dilakukan di KPI itu bisa diterapkan di tempat-tempat yang lain, lembaga-lembaga yang sejenis punya komitmen yang sama sehingga tidak perlu ada kasus kompetisi tersebut,” kritiknya.
“Karena pasti diawasi oleh masyarakat, maka bagaimana agar kita sama-sama memberi perhatian untuk berkomitmen yang sama dalam menyikapi persoalan-persoalan penyakit patologi seksual, seksual menyimpang, kerusakan mental dan pikiran, gara-gara model patologi seksual ini,” pungkasnya. [] Ageng Kartika