Mediaumat.id – Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) Prof. Dr. Diding Suhandy menegaskan bahwa jalan adalah hak dasar manusia yang harus dipenuhi negara.
“Sebenarnya jalan itu kan hak dasar kita (yang harus dipenuhi negara). Kalau jalan rusak, kita jatuh gara-gara jalan rusak itu, itu kita bisa somasi, bisa menuntut pemerintah,” tegasnya dalam diskusi infrastruktur Buruknya Fasilitas Jalan Raya di Daerah, Buruknya Wajah Pemerintah Daerah? Kasus Lampung, Senin (8/5/2023) di kanal YouTube PAKTA Channel (Pusat Analisis Kebijakan Strategis).
Ia mengingatkan, pada zaman Khalifah Umar bin Khattab ra kalau hewan itu terperosok di jalan, itu ada pertanggungjawabannya. “Ini bukan hanya keledai, tapi manusia banyak yang terperosok. Jadi hak dasar (jalan) itu harus dipenuhi,” ujarnya.
Prof. Diding menyoroti bahwa seolah-olah apa yang seperti dilakukan saat ini dengan jalan rusak, lalu dikunjungi, itu sesuatu yang luar biasa. Padahal sebenarnya jalan adalah hak dasar. “Kita bisa menuntut pemerintah bukan hanya atas apa yang kita alami, tapi mungkin juga potensi kalau ini dibiarkan termasuk sebelum-sebelumnya akumulasi sudah luar biasa,” urainya.
Jalan rusak telah menyumbang kerugian sangat besar pada ekspor dan ketahanan pangan. Prof. Diding memaparkan bahwa di Lampung pernah diukur dengan IRI (International Roughness Index atau indeks kekasaran permukaan jalan-red) dengan cara mengukur dari lahan produsen sampai titik ekspor, sebagian di Jakarta, sebagian di Lampung.
Hasilnya, ditemukan bahwa IRI sangat tinggi. “IRI kita sangat tinggi jadi banyak merugikan perusahaan, merugikan ekspor kita, ternyata IRI menyumbang cukup besar. Dengan IRI yang besar menunjukkan jalan yang rusak menyumbang loss (kehilangan) cukup besar,” jelasnya.
Prof. Diding menambahkan, rusaknya jalan juga memengaruhi ketahanan pangan. Makanan, buah-buahan, produk pertanian yang perishable (terhancurkan) terbanting-banting selama proses transportasi hingga mengakibatkan loss susut pasca panen sekitar 30-40%. Di Indonesia sebagai negara berkembang, loss-nya dari titik produsen ke pengecer.
“Loss kita itu terjadi di antara produksi hingga diantara ke pengecer, ke pedagang dan ini salah satu penyumbang terbesasrnya adalah jalan, infrastruktur,” tegasnya.
Perilaku Koruptif
Prof. Diding menyampaikan bahwa dari sisi teknologi jalan, ahli tidak kurang, tidak perlu juga melakukan studi banding ke luar negeri. Ahli di Indonesia sudah cukup banyak, teknologi pengerasan jalan, pembuatannya sudah sesuatu hal yang sangat dikuasai. “Kenapa tidak terjadi demikian? Karena perilaku koruptif,” ujarnya.
Ia menyarankan, sebaiknya dari sisi ancaman bagi para pelaku korupsi ini semakin hari semakin nyata sehingga tidak hanya jalan yang terselamatkan, tapi juga pelayanan publik.
“Ini bisa jadi cara kita mengatasi masalah juga bermasalah. Harusnya ada perencanaan yang bagus, ada juga eksekusi yang bagus. Ada perencanaan bagus tapi eksekusi tidak bagus ya seperti sekarang ini. Kalau bocor 50% ke mana-mana, ya tidak mungkin dapat kualitas jalan seperti yang diharapkan,” tegasnya.
Ia menyatakan jika perilaku koruptif yang mengurangi anggaran tadi mengurangi semuanya. Tebal jalan, kualitas, material, beban izin juga jauh berkurang.
Prof. Diding menyampaikan, bahwa korupsi itu baik yang memberikan uang korupsi atau yang menerima itu riswah. “Itu perilaku yang dikenakan hukuman yang kita kenal sebagai hukuman yang diberikan kewenangannya kepada kepala negara untuk memberikan hukuman yang paling pantas. Yang paling pantas itu ya yang akan membuat perilaku itu dihentikan,” imbuhnya.
Ia pun berpendapat terkait penerapan syariat Islam secara kaffah sebagai solusi. “Sebagai seorang Muslim, kita meyakini bahwa tidak ada hukum syariat yang membahayakan kalau itu diterapkan. Termasuk tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum yang Allah telah turunkan,” pungkasnya.[] Hanafi