Gubernur Papua Korupsi, Akademisi: Sudah Lama Diketahui Pusat

Mediaumat.id – Dugaan korupsi Gubernur Lukas Enembe yang mencapai ratusan miliar rupiah dinilai Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr. Suswanta, M.Si. sudah lama diketahui pusat tapi tidak segera ditindak.

“Korupsi oleh Gubernur Papua sudah lama diketahui pusat, tapi tidak ditindak,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Jumat (23/9/2022).

Menurutnya, hal ini dilakukan untuk menjaga Papua agar tidak lepas dari NKRI.

Adanya anggaran bagi Papua yang begitu besar disinyalir menjadi sebab terjadinya korupsi. “Anggaran untuk provinsi Papua dan Papua Barat tahun 2022 sangat besar yaitu 84,7 triliun (otsus, tambahan infrastruktur, dana desa dan kementerian/lembaga),” ungkapnya.

Suswanta mengatakan, kewenangan mengelola anggaran tidak dibarengi dengan pengawasan baik oleh instansi terkait, media dan masyarakat. Selain itu, kata Suswanta, gaya hedonis pejabat juga menjadi faktor pendorong bagi pejabat untuk melakukan korupsi.

Ia menduga, penangkapan Gubernur Papua selain karena memang korupsi ratusan miliar tetapi juga karena yang bersangkutan kader Demokrat (kompetisi politik Demokrat versus PDIP).

Biaya Politik Tinggi

Suswanta menilai, gubernur dan walikota/bupati yang tersangkut korupsi disebabkan karena biaya politik yang tinggi. “KPK mencatat (2022) ada 122 kasus korupsi yang melibatkan bupati/walikota/wakilnya (dari 416 kabupaten/kota), 21 kasus melibatkan gubernur (dari 34 provinsi). Penyebabnya karena biaya politik tinggi (rata-rata 10-30 miliar untuk pilkada bupati/walikota, 100 miliar untuk pilkada gubernur),” ungkapnya.

Menurutnya, biaya tersebut tidak sebanding dengan gaji pokok dan tunjangan gubernur/bupati/walikota sehingga dibutuhkan cukong untuk membantu pencalonan.

“Cukong yang membantu gubernur/bupati/walikota terpilih akan menagih janji dan minta dimenangkan dalam proyek,” terangnya.

Akar Masalah

Suswanta mengatakan, akar masalah terjadinya korupsi setidaknya karena empat hal. Pertama, sistem yang rusak, mulai dari rekrutmen (pemilu) biaya tinggi. Kemudahan cukong-cukong politik dan keluarga (KKN ditambah banyak pejabat sekaligus pengusaha) dalam memperoleh izin pengelolaan SDA, tender pengadaan barang dan jasa dan proyek-proyek pemerintah.

Kedua, individu pejabat yang rendah integritas keilmuan dan kepribadiannya (hedonis dan tamak). Ketiga, rusaknya aturan hukum dan penegakannya (penegak hukum juga menjadi koruptor). Keempat, lemahnya pengawasan oleh instansi terkait, media dan masyarakat.

Solusi

Solusi atas permasalahan ini, kata Suswanta, diperlukan sistem alternatif yang mampu mewujudkan pemimpin yang berkualitas dan amanah dengan mekanisme pemilihan tanpa korupsi dan manipulasi. “Sistem yang mampu mencerdaskan rakyat dan media untuk berani melakukan amar makruf nahi mungkar dan mengawasi jalannya pemerintahan,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: