Persekutuan Gereja-Gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ) menyoroti pembangunan Masjid Agung Al Aqsha Sentani. Hal ini didasari lantaran pemerintah Kabupaten Jayapura bersama rakyat dan umat beragama telah mendeklarasikan kabupaten ini sebagai zona integritas kerukunan umat beragama.
Maka, kata Ketua Persekutuan Gereja di Jayapura, Pendeta Robbi Depondoye didampingi Sekretaris Umum Pendeta Joop Suebu dalam surat pernyataannya yang dikirimkan kepada Republika.co.id, Sabtu (17/3), ada beberapa hal yang dipandang perlu oleh PGGJ untuk diperhatikan dalam mengawal zona tersebut.
“PGGJ telah mengamati fenomena dan kegelisahan hati yang terjadi pada masyarakat dalam empat dekade ini,” katanya.
Untuk itu, pada 16 Februari 2018, PGGJ memutuskan beberapa hal yang menjadi sikap gereja. Sehingga perlu diketahui dan dimaklumi oleh semua pihak. Sikap itu adalah sebagai berikut:
1. Bunyi azan yang selama ini diperdengarkan dari toa kepada khalayak umum harus diarahkan ke dalam masjid.
2. Tidak diperkenankan berdaqwah di seluruh tanah Papua secara khusus di kabupaten Jayapura.
3. Siswi-siswi pada sekolah negeri tidak menggunakan pakaian seragam atau busana bernuansa agama tertentu.
4. Tidak boleh ada ruang khusus seperti mushala pada fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, pasar, terminal dan kantor pemerintah.
5. PGGJ akan memproteksi area perumahan KPR BTN tidak boleh ada pembangunan masjid dan mushala.
6. Pembangunan rumah ibadah di Kabupaten Jayapura wajib mendapat rekomendasi bersama PGGJ, pemerintah daerah dan pemilik hak ulayat sesuai dengan peraturan pemerintah.
7. Tinggi bangunan rumah ibadah dan menara agama lain tidak boleh melebihi tinggi bangunan gedung gereja yang ada di sekitarnya.
8. Pemerintah dan DPR Kabupaten Jayapura wajib menyusun Raperda tentang kerukunan umat beragama di Kabupaten Jayapura.
Berdasarkan delapan poin di atas, maka sikap PGGJ, pertama pembangunan menara Masjid Al Aqsha harus dihentikan dan dibongkar. Kedua, menurunkan tinggi gedung Masjid Al Aqsha sejajar dengan tinggi bangunan gedung gereja yang ada di sekitarnya.
Selama ini, kata Robbi, PGGJ menyadari sikap toleransi yang ditanggapi secara salah oleh sebangsa yang berkeyakinan lain di atas tanah Kenambai Umbai sebagai tanah peradaban injil kristus, dengan menyembunyikan suara azan melalui pengeras suara tanpa menghargau perasaan dari umat kristiani yang ada di sekitarnya. Bahkan, dengan sesuka hati membangun dan mendirikan tempat ibadah tanpa lebih dulu berkomunikasi dengan pemeluk agama lain.
Padahal, PGGJ mengklaim telah memiliki rasa toleransi yang baik dan menghargai keberadaan agama-agama lain yang ada di kabupaten Jayapura. Untuk itu, pemerintah diminta memperhatikan dengan sungguh-sungguh termasuk kaum lain yang hidup dan tinggal di atas tanah Papua khususnya di kabupaten Jayapura.[]
Sumber: Republika.co.id