Mantan Presiden Amerika George HW Bush – yang merupakan arsitek Perang Teluk Pertama yang menewaskan puluhan ribu warga Irak – meninggal di usia 94 tahun.
Bush menjabat sebagai Presiden AS dari tahun 1988 hingga 1992 dan akan terus diingat di dunia Muslim karena perang berdarah yang dia lancarkan – dengan bantuan beberapa negara Arab, termasuk Arab Saudi dan Mesir – untuk melawan Presiden Irak Saddam Hussein pada tahun 1990-1991.
Pada tahun 1990, pemimpin Irak Saddam Hussein menuduh Kuwait menyedot minyak mentah dari ladang minyak Ar-Rumaylah yang terletak di sepanjang perbatasan bersama kedua negara. Dia juga menegaskan bahwa Kuwait dan Arab Saudi membatalkan utang luar negeri Irak senilai $ 30 miliar, dan menuduh mereka bersekongkol untuk menjaga agar harga minyak tetap rendah dalam upaya untuk menjadi calo ke negara-negara Barat pembeli minyak.
Pada tanggal 2 Agustus 1990, dia memerintahkan invasi ke Kuwait setelah menerima apa yang dia anggap sebagai lampu hijau dari Dubes AS untuk Irak. Hussein beranggapan bahwa negara-negara Arab lainnya akan siap menghadapi invasi ke Kuwait dan tidak meminta bantuan dari luar untuk menghentikannya, namun terbukti dia salah perhitungan.
Dua pertiga dari 21 anggota Liga Arab mengutuk “tindakan agresi Irak,” dan Raja Fahd dari Arab Saudi, bersama dengan pemerintah Kuwait di pengasingan, beralih kepada Amerika Serikat dan negara-negara anggota NATO lain untuk mendapatkan dukungan.
Pada tanggal 8 Agustus, hari ketika pemerintah Irak secara resmi mencaplok Kuwait, pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara AS mulai berdatangan ke Arab Saudi sebagai bagian dari pembangunan kekuatan militer yang dijuluki sebagai Operation Desert Shield. Pesawat-pesawat tempur datang bersama dengan pasukan yang dikirim oleh sekutu NATO serta Mesir dan beberapa negara Arab lainnya, yang dirancang untuk menjaga kemungkinan serangan Irak terhadap Arab Saudi.
Pada bulan Januari, pasukan koalisi yang bersiap menghadapi tentara Irak berjumlah sekitar 750.000, termasuk 540.000 personel AS dan pasukan yang lebih kecil dari Inggris, Perancis, Jerman, Uni Soviet, Jepang, Mesir dan Arab Saudi, di antara negara-negara lainnya. Irak mendapat dukungan Yordania (negara tetangga lainnya yang rentan), Aljazair, Sudan, Yaman, Tunisia, dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Pada pagi hari tanggal 17 Januari 1991, serangan udara besar yang dipimpin AS mulai menyerang pertahanan udara Irak, dan bergerak cepat ke jaringan komunikasinya, pabrik senjata, kilang minyak, dan banyak lagi. Angkatan Udara Irak dihancurkan pada awal atau harus keluar dari pertempuran di bawah serangan tanpa henti, yang tujuannya adalah untuk memenangkan perang di udara dan meminimalkan pertempuran di darat sebisa mungkin.
Pada pertengahan Februari, pasukan koalisi telah mengalihkan fokus serangan udara mereka ke pasukan darat Irak di Kuwait dan Irak selatan. Suatu serangan darat besar-besaran, yang disebut Operation Desert Saber, diluncurkan pada tanggal 24 Februari, dengan pasukan yang menuju dari timur laut Arab Saudi ke Kuwait dan Irak selatan.
Selama empat hari berikutnya, pasukan koalisi mengepung dan mengalahkan Irak dan Kuwait “dibebaskan”. Pada saat yang sama, pasukan AS menyerbu ke Irak sekitar 120 mil barat Kuwait, dengan menyerang cadangan lapis baja Irak dari belakang. Pasukan elit Irak Pengawal Republik melancarkan pertahanan di selatan Al-Basrah di Irak tenggara, namun sebagian besar dikalahkan pada tanggal 27 Februari.
Secara keseluruhan, setidaknya 10.000 pasukan Irak terbunuh, dibandingkan dengan hanya 300 pasukan koalisi.
Meskipun Perang Teluk diakui sebagai kemenangan yang menentukan bagi koalisi, Kuwait dan Irak mengalami kerusakan besar, dan Saddam Hussein tidak dipaksa turun. Perang ini dimaksudkan oleh para pemimpin koalisi sebagai perang “terbatas” dengan biaya perang minimum, namun memiliki efek yang lama selama bertahun-tahun kedepan, baik di wilayah Teluk Persia maupun di seluruh dunia.
Segera setelah perang, pasukan Hussein menekan pemberontakan Kurdi di utara Irak dan Syiah di selatan. Koalisi pimpinan Amerika Serikat gagal mendukung pemberontakan, karena takut bahwa negara Irak akan bubar jika mereka berhasil.
Sesaat sebelum Natal tahun 1991, Medical Educational Trust di London menerbitkan studi komprehensif tentang jumlah korban. Disebutkan hingga seperempat juta pria, wanita dan anak-anak tewas sebagai akibat langsung dari serangan pimpinan Amerika terhadap Irak dan sebagian lain tewas segera setelahnya.
Dalam bukti –bukti di depan Komite Pemilihan Luar Negeri Parlemen, badan-badan bantuan internasional utama melaporkan bahwa 1,8 juta orang telah menjadi tunawisma, dan listrik, air, limbah, komunikasi, kesehatan, pertanian dan infrastruktur industri Irak telah “hancur secara substansial”, sehingga mengakibatkan “kondisi untuk kelaparan dan epidemi ”.
Pada tahun-tahun setelah perang, kematian setengah juta anak-anak akibat embargo ekonomi Amerika dan Inggris dan pemboman terus-menerus di wilayah-wilayah yang berpenduduk di Irak tidak banyak dilaporkan oleh Barat.
Pada tahun 2002, Amerika Serikat (saat itu dipimpin oleh Presiden George W. Bush, putra mantan presiden) mensponsori resolusi baru PBB yang menyerukan kembalinya inspektur senjata ke Irak.
Di tengah perselisihan antara negara anggota Dewan Keamanan PBB tentang seberapa baik Irak telah memenuhi inspeksi tersebut, Amerika Serikat dan Inggris mulai mengumpulkan pasukan di perbatasan Irak.
Bush Junior (tanpa persetujuan PBB) mengeluarkan ultimatum pada tanggal 17 Maret 2003, yang menuntut agar Saddam Hussein mundur dari kekuasaan dan meninggalkan Irak dalam waktu 48 jam, di bawah ancaman perang. Saddam Hussein menolak, dan Perang Teluk Persia Jilid Dua pun dimulai tiga hari kemudian. Perang itu menjadi jauh lebih berdarah dari Perang Teluk Jilid Satu.[]
Sumber: 5pillarsuk.com