Mediaumat.id – Gelombang protes yang terjadi di Sri Lanka akibat kekurangan bahan pokok yang parah, kenaikan harga yang tajam dan pemadaman listrik dinilai merupakan puncak gunung es.
“Keguncangan di Sri Lanka seperti puncak gunung es, beberapa gejalanya sudah dirasakan di banyak negeri, termasuk Indonesia,” ujar Direktur Institut Muslimah Negarawan (IMuNe) Fika Komara kepada Mediaumat.id, Senin (4/4/2022).
Menurut Fika, Sri Lanka sedang mengalami krisis ekonomi luar biasa yang sekarang diikuti oleh kerusuhan dan krisis politik. Meskipun rezim inkumben berdalih itu hanyalah sekadar krisis devisa yang diperparah oleh pandemi, tapi banyak pakar membantah bahwa krisis di Sri Lanka sudah lama terjadi, dan saat ini hanya sebagai puncaknya saja.
Fika menuturkan, awal Januari 2022 yang lalu, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa bertemu dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi di Kolombo untuk meminta keringanan pembayaran utang berbasis bunga ke Cina. Memang selama dekade terakhir, Cina telah meminjamkan Sri Lanka lebih dari $5 miliar untuk jalan raya, pelabuhan, bandara, dan pembangkit listrik tenaga batu bara, sebagai bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Cina.
Fika mengatakan, seperti layaknya negeri-negeri lain yang tergiur dengan investasi Sabuk dan Jalan Tiongkok, Sri Lanka juga menjanjikan mimpi indah pada rakyatnya dengan pembangunan pelabuhan dan infrastruktur. Namun apalah daya, mimpi indah itu sekarang berubah menjadi mimpi buruk bagi negeri di Samudera India itu, karena ketidakmampuan membayar utang.
Fika memandang, di bawah tatanan kapitalis global saat ini, pinjaman diberikan oleh kekuatan kolonialis utama kepada orang lain, untuk memperbudak dan mengeksploitasi mereka secara ekonomi. Situasi di Sri Lanka dan Pakistan menetapkan bahwa Cina adalah bagian dari tatanan kapitalis global saat ini, yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
Di Sri Langka, hal ini diperparah dengan polah rezim Rajapaksa yang penuh dengan korupsi dan nepotisme. Teater kekuasaan oligarki juga dipertontonkan. Ketika rakyat mengalami pemadaman listrik bergilir, para pejabat dan kroni presiden justru tak merasakan kegelapan sama sekali, bersamaan dengan pertunjukan kekayaan yang mewah oleh anggota keluarga sehingga memuncakkan amarah rakyat. Walhasil, kepongahan rezim Rajapaksa yang bahkan sudah berkuasa hampir 8 dekade, dalam sekejap terancam jatuh.
Fika membeberkan, kesenjangan dan ketidakadilan adalah faktor utama rakyat Sri Lanka bergerak. Pandemi corona juga tidak bisa selalu dijadikan kambing hitam, pandemi hanya mempercepat kebusukan sistemik ekonomi kapitalisme muncul ke permukaan.
Terakhir Fika mengingatkan, Indonesia sebagai negara yang juga menerima pinjaman utang dari Cina, seharusnya menjadikan kasus Sri Lanka ini menjadi pelajaran luar biasa.
“Bahwa kekuasaan oligarkis tidaklah berumur panjang, karena lebih mementingkan pelayanan kepada pemodal daripada pelayanan kepada rakyat,” pungkasnya.[] Agung Sumartono