Gaza Antara Pandangan Berdasarkan Syara’ dan Pembagian Sykes Picot
Banyak dari kalangan dai, ulama, dan syekh yang dalam berpikir masih terbelenggu oleh pembagian Sykes-Picot. Dalam membaca realitas dan bahkan terkait dalil-dalil syara’ yang mereka keluarkan untuk pendapatnya, terikat dengan pembagian yang terjadi di negeri-negeri kaum Muslim, misalnya jika mereka berbicara tentang masalah kemiskinan di Yordania atau Yaman, atau kurangnya sumber daya di Somalia, atau kelaparan yang terjadi di Sudan, mereka mencari solusi berdasarkan batas geografis, garis bujur dan lintang, serta berdasarkan pembagian Sykes-Picot! Mereka lupa bahwa umat ini adalah umat yang satu dalam akidah, panji, dan semua kekayaannya.
Negeri-negeri kaum Muslim adalah satu dan sumber dayanya juga satu. Sehingga tidaklah tepat jika rakyat Mesir mati kelaparan sementara rakyat Teluk, misalnya, menikmati kekayaannya. Juga tidak pantas jika kita melihat persiapan di Gaza, dan membahas aspek syara’nya berdasarkan tolok ukur Sykes-Picot, lalu dikatakan: Apakah persiapan rakyat Gaza cukup untuk memerangi Yahudi?! Lalu para ulama mulai diminta untuk berbicara tentang rincian fiqihnya! Sesungguhnya hukum asal yang disebutkan dalam Al-Qur’an, pandangan syara’ yang komprehensif, bahwa umat ini adalah umat yang satu, sedangkan persiapan yang dituntut bersamaan dengan kewajiban jihad adalah persiapan umat, bukan persiapan gerakan, kelompok, dan individu. Allah subhānahu wa ta’āla berfirman:
﴿وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ﴾
“Persiapkanlah untuk (menghadapi) mereka apa yang kamu mampu, berupa kekuatan (yang kamu miliki) dan pasukan berkuda. Dengannya (persiapan itu) kamu membuat gentar musuh Allah, musuh kamu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, (tetapi) Allah mengetahuinya. Apa pun yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas secara penuh kepadamu, sedangkan kamu tidak akan dizalimi.” (TQS. Al-Anfāl [8] : 60).
Ini adalah seruan kepada umat, bukan seruan kepada individu dan kelompok, dalam kapasitasnya sebagai individu dan kelompok. Persiapan yang harus dilakukan umat saat ini, dengan kekuatan material yang dimilikinya seperti pesawat, rudal, dan berbagai potensi, jauh lebih dari apa yang diperlukan, sebab tidak hanya untuk memerangi orang-orang Yahudi, tetapi juga untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Jadi, pembahasan tentang kekuatan perlawanan di Gaza, apakah cukup untuk melawan entitas bersenjata lengkap atau tidak … dll., maka ini bukan pembahasan syara’ yang komprehensif, melainkan pembahasan yang salah dan keliru.
Perintah jihad ofensif hukumnya adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif), sehingga jika sebagian umat Islam telah melaksanakannya, maka kewajiban itu gugur dari sebagian yang lainnya, namun kewajiban jihad menjadi keharusan badi semua dalam beberapa keadaan, misalnya jika ada orang kafir yang menduduki negeri Islam, maka dalam keadaan apa pun rakyatnya tidak boleh mengabaikan jihad. Hukum jihad adalah wajib bagi umat, sedang umat mempunyai kekuatan yang diperlukan dan bahkan lebih dari itu, sehingga membiarkan Gaza berperang sendirian tidak lain adalah bentuk pengabaian dan berdiam diri dari menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya. Jika rakyat Gaza hilang keamanannya dan terhapus seluruh lembaran kehidupannya, maka dosa menjerat leher seluruh umat Islam, masing-masing sesuai dengan kadar kemampaun dan kekuatannya. Dosa itu akan terus menjerat sampai pembunuhan, kelaparan dan pengusiran dihilangkan dari mereka, bahkan sampai seluruh Palestina dibebaskan dari orang-orang Yahudi, dan kenyataan ini tidak dibantah oleh umat Islam, baik rakyat pada umumnya maupun para ulamanya.
Lebih lagi bahwa jihad melawan Yahudi merupakan kewajiban bagi seluruh umat, karena mereka telah menduduki tanah di antara tanah milik umat Islam. Di mana keadaan ini merupakan salah satu dari empat perkara yang mewajibkan jihad, yakni jihad berubah menjadi fardhu ‘ain (kewajiban perindividu). Jihad yang berdasarkan syara’, seperti yang dituntut oleh al-Syāri’, Allah subhānahu wa ta’āla, telah ditangguhkan selama lebih dari seratus tahun, yaitu jihad yang tentara dan rencananya dipersiapkan dan disusun oleh Khalifah umat Islam, bukan berdasarkan nomor (nasional) atau faksi, geografi, dan perbatasan.
Sayangnya, sebagian cendekiawan dan ulama banyak membahas kajian fiqih berdasarkan konteks pembagian yang terjadi setelah runtuhnya Khilafah, institusi pemersatu umat, di mana mereka mengaitkan hukum syara’ dengan nasionalisme dan faksionalisme. Padahal hukum asalnya adalah mengembalikan segala sesuatunya ke dalam perspektif yang shahih (benar). Kesalahan pertama yang mereka lakukan dalam perang terminologi adalah tentang waliyul amri (penguasa), yakni siapakah penguasa yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syara’, yang adanya wajib ditaati dan bersabar jika ia memukul punggung serta mengambil harta? Bagaimana baiat dilakukan, dan siapa yang berhak membaiatnya? Kemudian dalil-dalil disusun agar setiap orang yang diberi otoritas dijadikan penguasa, meskipun ia mendapatkannya tidak melalui baiat, dan tidak mengindahkan konstitusi yang ia terapkan, sekalipun ia menerapkan hukum Amerika dan Eropa, serta mengamandemen hukum Islam dengan hukum kufur! Di mana memulai dan mengakhiri puasa diumumkan oleh negara sesuai dengan pembagian Sykes-Picot, jihad ditangguhkan oleh penguasa dan diumumkan kapan pun ia mau. Apa lagi, khususnya di Gaza, mereka telah menjadikan kewajiban jihad dibebankan pada faksi-faksi di Gaza, mereka hanya cukup dan puas dengan menonton kepahlawanan dan pengorbanan rakyat Gaza. Bahkan, mereka memanipulasi nash-nash syara’ dan melakukan berbagai kajian, seperti apakah kekuatan faksi-faksi di Gaza cukup atau tidak?! Apakah mereka tetap wajib berjihad menghadapi musuh yang kekuatan dan kekuasaannya tidak dapat mereka tandingi?! Mereka lupa bahwa umat Islam itu, damai dan perangnya adalah satu untuk semua.
Ringkasnya, kami katakan: Bahwa umat Islam saat ini tidak memiliki waliyul amri (penguasa) dalam pengertian syara’, karena mereka belum membaiat siapa pun sejak runtuhnya Khilafah Utsmani, lebih dari satu abad yang lalu. Istilah waliyul amri (penguasa) hanya sah dan berlaku jika memenuhi tiga syarat: Pertama, dibaiat oleh umat atau yang mewakilinya. Kedua, ia dibaiat untuk menjalankan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ketiga, ia dibaiat untuk menjadi penguasa bagi seluruh umat Islam. Jika salah satu dari ketiga syarat ini tidak terpenuhi, maka akad menjadi batal, kehilangan salah satu rukun esensialnya, dan menjadi tidak sah menurut ketentuan syara’ (hukum Islam).
Jihad adalah kewajiban yang diperintahkan Allah subhānahu wa ta’āla atas umat Islam, artinya umat Islamlah yang berkewajiban melakukan dan mensponsorinya, serta menghilangkan segala hambatan yang menghalangi penyebaran Islam dan upaya meninggikan agama Allah. Namun hal ini hanya akan terjadi jika ada negara dan Khalifah, sehingga umat akan berbaiat kepada waliyul amri (penguasa) yang sebenarnya. Selama umat belum mencapai gambaran ini, maka umat akan terus berputar dalam lingkaran setan, umat akan terus memberikan pengorbanan dan mempersembahkan para syahid, kemudian pengkhianat atau antek kaum kafir datang untuk memusnahkan semua pengorbanan dan kemenangannya! Namun ingatlah! Allah subhānahu wa ta’āla pasti menolong orang yang menolong agama-Nya.
﴿وَلَيَنصُرَنَّ اللهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ﴾
“Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (TQS. Al-Hajj [22] : 40). [] Prof. Abu Mu’taz Billah Al-Asyqar
Sumber: alraiah.net, 18/9/2024.
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat