Mediaumat.id – Narasi-narasi yang berkembang soal kelangkaan gas melon (LPG 3 kg) tidak tepat sasaran, banyak orang kaya yang menikmati gas melon, sehingga bikin anggaran jebol, dan sebagainya diduga hanya gimik yang dimainkan agar rakyat terpaksa membeli gas pink.
“Seolah-olah ini cuma gimik-gimik yang dimainkan agar rakyat terpaksa membeli tabung gas pink bright gas yang dibandrol lebih mahal dan laku di pasaran atau rakyat akhirnya beralih ke kompor listrik. Lagi-lagi inilah kenaikan harga yang dipaksakan akibat kelangkaan,” kata Direktur Mutiara Umat Institute Ika Mawarningtyas dalam Obrolan Sore: Gonjang-ganjing Gas Melon, Ahad (30/7/2023) di YouTube Kasepuhan TV.
Lepas Tanggung Jawab?
Ika pun mencatat tiga persoalan terkait masalah tersebut. Pertama, seolah-olah pemerintah lepas tanggung jawab terhadap permasalahan kelangkaan gas melon ini.
“Bisa-bisanya mereka mengatakan tabung gas elpiji 3 kg, hanya untuk rakyat miskin? Padahal yang ingin mendapatkan gas LPG murah tidak cuma rakyat miskin, semua rakyat membutuhkannya,” katanya.
Ia mempertanyakan, kategori miskin yang seperti apa yang mereka canangkan. “Padahal saat gas melon langka, semua teriak, emak-emak teriak, pedagang makanan, warung makan teriak. Harus semiskin apa kita agar bisa menikmati gas melon?” tanyanya.
Ia menilai, kelangkaan ini lagu lama, seperti kasus BBM, premium langka, lalu hilang, dan semua terpaksa beli pertalite.
Playing Victim
Kedua, pernyataan gas melon tidak tepat sasaran dan berdampak anggaran jebol adalah pernyataan yang playing victim (berpura-pura teraniaya).
“Pemerintah playing victim. Lha wong Indonesia kaya akan sumber daya alam, kaya akan minyak bumi, lalu masih bilang anggaran jebal-jebol, bukan anggarannya yang jebol, tetapi memang pemerintah tidak becus mengelola sumber daya energi di negeri ini. Indonesia memiliki berbagai sumber daya alam, termasuk gas alam. Siapa yang mengelola gas alam itu, digunakan untuk siapa?” tukasnya.
Coba perhatikan, lanjut Ika, memiliki sumber gas tetapi impor gas. Pertanyaannya, lalu sumber gas yang ada di dalam negeri dikelola untuk siapa? Lalu mengapa impor sebanyak itu?
“Pasti pemerintah memiliki alasan-alasan dalam mengambil kebijakan itu, tetapi segala kebijakan yang ada seperti memihak pada korporasi, tunduk pada korporasi, sehingga harga-harga yang berkembang di masyarakat juga memenuhi standar bisnis korporasi, bukan lagi untuk mengayomi dan menyejahterakan rakyat,” katanya.
Kuatkan Kapitalisme Global
Ketiga, jika pemerintah mencabut subsidi gas LPG 3 kg membuktikan kebijakan pemerintah makin hari makin menguatkan cengkeraman kapitalisme global.
Ia menjelaskan, melalui perjanjian perdagangan seperti World Trade Organization (WTO), meminta seluruh negara yang tergabung dalam organisasi itu untuk mencabut subsidi kepada rakyatnya. Sumber daya alam yang seharusnya dikelola negara untuk rakyat menjadi dikapitalisasi secara besar-besaran. Sehingga dari sana, semua kebutuhan yang berhubungan dengan sumber daya alam, energi, ataupun mineral diserahkan ke swasta, kapitalis, dan di bawah kendali korporasi asing.
Ia menjelaskan, dari situ akan tercipta jurang antara si kaya dan si miskin, bahkan dengan inilah negara yang kayak akan sumber daya alam akan tampak melarat dan miskin.
“Akhirnya kemiskinan secara struktural itu akan tercipta dengan sendirinya. Kemungkinan terakhir adalah negara berada di ujung kebangkrutan karena terjebak debt trap (jebakan utang). Inilah kejamnya penerapan sistem kapitalisme hari ini, negara tidak bisa maju dan berada dalam pusaran keserakahan kapitalisme global,” pungkasnya.[] Titin Hanggasari