Baginya, Islam melampaui horizon-pengamatan materiel-historis dalam mengamati dan menjalani sejarah. Sebab, dasar Islam adalah wahyu Ilahi, bukan sekadar akal-empiris atau pemikiran manusia. Hal yang sama juga ditujukannya kepada Dunia Islam. Tujuan kita adalah berintegrasi dengan dialog, kata dia.
Karena itu, Garaudy baik sebelum ataupun ketika menjadi Muslim terus mencoba menghadirkan Islam bukan sebagai wacana yang asing kepada Barat. Sejarah pun mencatat, Barat justru tercerahkan lantaran ekspansi Islam, yang bermula baik dari arah Spanyol ataupun Byzantium.
Islam bukan hanya telah mempersatukan, melainkan juga mengembangkan kebudayaan-kebudayaan yang paling tua dari sejarah dunia. Mulai dari Cina, India, Persia, Yunani, Romawi Timur (Byzantium), hingga Timbuktu di Afrika. Garaudy melihat perlunya Barat untuk mene rima Islam sebagai penyelamat peradaban modern.
Kepada kebudayaan-kebudayaan yang mati, Islam telah membawa kembali jiwa dari kehidupan kolektif yang baru. Islam sebagai suatu kekuatan yang hidup, bukan hanya bagi masa lalu, melainkan juga dalam segala yang dapat diberikannya pada masa kini untuk mengatur masa depan kita, tulis Roger Garaudy dalam Promesses de l’Islam.
Kebudayaan dan peradaban Barat sesungguhnya bersumber pada warisan filsafat Yunani. Akan tetapi, akses Barat terhadap filsafat Yunani hanya mungkin karena kontribusi kaum cendekiawan Muslim pada zaman keemasan Islam. Mereka dengan giat menerjemahkan warisan pemikiran para filsuf Yunani Kuno ke dalam bahasa Arab.
Penting untuk dicatat, kegiatan cendekia ini tidak tertutup bagi orang Islam saja, melainkan terbuka bagi semua kalangan. Baitul Hikmah di Baghdad, misalnya, merupakan pusat keunggulan sains dan kebudayaan yang mengedepankan sifat kosmopolitan.
Lebih lanjut, bagi Roger Garaudy, Renaisans Barat sejatinya bermula bukan di Italia pada abad ke-14, melainkan Andalusia (Spanyol) empat abad sebelumnya. Karena itu, dia bertanya kepada publik Eropa modern, Mengapa kita menghapus jejak-jejak kebudayaan yang melahirkan dan membesarkan kebudayaan kita? Apalagi, Islam melakukan ekspansi secara bertahap-tahap melalui kebudayaan, alih-alih senjata.
Dia lantas membandingkan ekspansi kolonialisme Barat dengan cara-cara Roma dahulu menguasai Yunani atau Mongol abad ke-13 merangsek ke Eropa dari arah timur. Semua itu dilakukan dengan mengedepankan kekuatan senjata. Kolonialisme sejak abad ke-19 justru melakukannya dengan lebih parah dan sistematis. Dalam era pascakolonial kini, Barat pun masih menanamkan kuku-kuku kekuasaannya di negeri-negeri Dunia Ketiga. Dalam perspektif ribuan tahun, Barat merupakan penjahat terbesar dalam sejarah, cetus Garaudy.
Barat begitu terpengaruh kecenderungan filsafat dualisme Plato. Dalam setiap dualisme atau konsep oposisi biner, sa lah satu unsur menyandang status superior, sedangkan unsur lainnya sebagai inferior. Misalnya, oposisi antara culture dan nature. Garaudy menandaskan, ada kekeliruan dalam pandangan Barat.
Barat sebagaimana tampak dari hukum hak milik yang berlaku di imperium Romawi melihat alam sebagai milik kami. Dengan perspektif ini, eksploitasi atas alam berlangsung dengan kecenderungan abai terhadap tanggung jawab yang luhur. Perspektif tersebut bertolak belakang dengan Islam yang memandang alam semesta dan diri manusia sebagai ciptaan Allah. Tujuan penciptaan manusia antara lain sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Karena itu, manusia dilarang merusak keteraturan alam, sebagaimana tercipta adanya (nature). Tugas kekhilafahan adalah mengolah nature (alam) agar masyarakat setempat dapat membina culture (budaya) yang mendukung penguatan iman kepada-Nya.[]
Sumber: ROL