Ganjar Raih Penghargaan Mendagri, IJM: Bertolak Belakang dengan Kondisi Ekonomi Jateng
Mediaumat.id – Penghargaan Mendagri Tito Karnavian yang diberikan kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai pemerintahan yang efektif dinilai Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana bertolak belakang dengan ekonomi yang ada di Jawa Tengah.
“Yang terjadi pada Ganjar Pranowo mendapat penghargaan sebagai pemerintahan yang efektif, pemerintahan yang baik dalam otonomi daerah menurut saya ini bertolak belakang dengan kondisi ekonomi yang ada di Jawa Tengah,” tuturnya dalam program Aspirasi: Kemiskinan Jateng Disorot, Senin (1/5/2023) di kanal YouTube Justice Monitor.
Agung mengutip pendapat dosen ilmu pemerintahan Universitas Sutomo Efriza yang memberikan catatan selama hampir dua periode memerintah di Jawa Tengah, penurunan angka kemiskinan di era Ganjar Pranowo itu tidak lebih tinggi ketimbang jumlah sisanya.
“Menurutnya, jika melihat dan membaca data Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, presentase keberhasilan juga sangat kecil. Kategori kemiskinan ekstrim dalam penurunannya sebesar 0,31. Dari persentase yang dicatat BPS Jawa Tengah tersebut ia melihat Ganjar menurunkan angka kemiskinan sebanyak 1 juta jiwa. Itu masih terbilang rendah jika dikaji secara waktu kepemimpinannya yang dua periode,” ucap Agung masih mengutip pendapat Efriza.
Miskin Ekstrem
Dalam pandangan Agung, secara nasional meskipun pemerintah mengklaim kemiskinan di Indonesia itu mengalami penurunan tapi pada faktanya kemiskinan di Indonesia secara kasat mata semakin bertambah.
“Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya masyarakat yang terkena PHK yang berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa,” imbuhnya.
Kemiskinan ekstrem, lanjutnya, sulit ditekan karena masalah kerak kemiskinan bersifat struktural seperti akses pendidikan hingga kesehatan.
“Dalam sistem kapitalis fungsi negara tidak berperan sebagai pengatur atau pengurus urusan rakyat. Negara hanya berfungsi sebagai regulator saja ditambah lagi sistem kapitalisme itu hanya pro terhadap kaum kapital, kaum pemilik modal, sehingga wajar jika kemiskinan terkesan dipelihara tanpa diberikan solusi yang berarti,” urainya.
Sistem kapitalisme itu sendiri, kata Agung, dalam memberikan solusi hanya bersifat tambal sulam dan tidak bisa mengurai permasalahan hingga ke akar-akarnya.
“Ibarat obat paracetamol yang hanya bisa meredam rasa nyeri tapi tak bisa menyembuhkan penyakit yang sesungguhnya,” ujar Agung memberikan permisalan.
Solusi yang ditawarkan oleh sistem kapitalisme ini pun, ucapnya, sering berputar pada sebatas bantuan sosial dan menarik para investor untuk menanamkan modal usahanya untuk menaikkan pajak yang nanti dikenakan pada seluruh rakyat.
“Walhasil bukan menekan tingkat kemiskinan tapi malah menambah masalah baru sehingga seakan-akan kemiskinan ini sudah dianggap suatu keniscayaan yang wajib ada dalam sistem kapitalisme. Artinya sudah dianggap wajar ada dalam sistem kapitalisme,” simpulnya.
Sebagai pamungkas, Agung menekankan bahwa kemiskinan yang terjadi sekarang bukan hanya persoalan personal, tapi sudah struktural yaitu sistem kapitalisme yang memang menciptakan adanya kemiskinan.[] Irianti Aminatun