Mediaumat.info – Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky mengatakan, meski sudah resmi naik gaji tinggi yang diperuntukkan bagi hakim, tak menjamin bakal meningkatkan integritas maupun kualitas putusan pengadilan.
“Gaji yang tinggi itu tidak berbanding lurus dengan meningkatnya integritas maupun kualitas putusan pengadilan,” ujarnya dalam Kabar Petang: Gaji Hakim Disamakan dengan Uang Jajan Rafathar, Lah Guru Honorer? di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (22/10/2024).
Tetapi meski begitu, sejak awal Wahyudi berharap gaji dan tunjangan yang diberikan bisa tinggi sehingga mampu mencukupi kebutuhan kehidupan mereka, dalam hal ini para hakim dan keluarga.
“Tentu kita berharap hakim itu gajinya tinggi supaya dia bisa berpikir, memutuskan perkara dengan adil, tidak terpengaruh dengan masalah-masalah di rumahnya,” tandasnya, sembari membandingkan dengan gaji seorang qadhi (hakim syariah) di era Kekhalifahan Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib.
“Di masa Khulafaur Rasyidin itu qadhi atau hakim itu digaji antara 100 sampai 500 dirham,” bebernya, yang bila dikonversi harga perak antam saat ini sekitar 35 juta hingga 175 juta rupiah.
“Saya pikir itu, mungkin kalau mau dibandingkan dengan di masa khalifah, di masa rakyat belum dibebani dengan pajak yang besar, PPN yang belasan persen dan seterusnya, itu bisa mampu menggaji hakim sebesar 100 sampai 500 dirham,” tambahnya.
Dikabarkan, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Perubahan PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung, pemerintah telah mengakomodir aspirasi para hakim di berbagai wilayah yang sebelumnya melakukan mogok kerja pada 7-11 Oktober 2024, dengan tuntutan peningkatan kesejahteraan dan jaminan keamanan.
Namun begitu, kata Wahyudi lebih lanjut, dengan potensi kekayaan alam melimpah ruah di negeri ini, harusnya lebih dari cukup untuk bisa menyejahterakan seluruh pejabat negara termasuk para hakim.
“Bahkan kalau dulu, Abraham Samad (ketua KPK periode 2011–2015), menghitung seandainya tambang kita tidak dikorupsi dan dikelola dengan baik, minimal satu kepala itu mendapat tunjangan 20 jutaan, per orang,” ulasnya.
Meski menurut Wahyudi jumlah itu sudah lebih dari tunjangan hakim saat ini, tetapi belum setara dengan tunjangan hakim di masa kekhilafahan atau di masa Khulafaur Rasyidin.
Tiga Hal
Lantas terkait kekacaubalauan, bahkan keputusan-keputusan tidak adil yang kerap dikeluarkan oleh lembaga pengadilan, menurut Wahyudi, setidaknya bermuara dari tiga hal.
Pertama, begitu rendahnya integritas hakim. Hal ini tampak pada terbongkarnya kasus pidana suap yang melibatkan hakim anggota MK yang disangka menerima suap 20.000 dollar AS dan 200.000 dolar Singapura atau sekitar Rp2,15 miliar dari importir daging sapi.
Suap itu terkait uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang sedang ditangani MK.
Tak hanya anggota, terdapat pula kasus serupa yang menyeret ketua hakim Mahkamah Konstitusi karena menerima suap Rp57,78 miliar dan 500.000 dolar AS pada Oktober 2013 lalu. Suap itu terkait pengurusan 15 sengketa pilkada.
Kedua, kurangnya kontrol masyarakat. Dan yang ketiga, sistem hukum yang diberlakukan saat ini tidak ideal.
“Jangan lupa ini sistem hukum kita, suka atau tidak juga kita memang menggunakan sistem hukum warisan Belanda,” paparnya.
Celakanya, sambung Wahyudi, pemerintahan Belanda ketika itu ternyata mengambil KUHP dari Prancis, negara yang menjajahnya. Lebih celaka lagi, ternyata Prancis mengambilnya dari Romawi.
“Kalau kita urut-urut sanad dari hukum yang kita pakai hari ini, di negeri ini, adalah warisan Belanda dibawa oleh Prancis yang diambil dari Romawi,” ulasnya.
Maka tak heran jika kemudian menjadikan sistem peradilan sering memutuskan perkara yang kategorinya, menurut Wahyudi, lucu-lucu. Bahkan muncul fenomena ‘mahkamah adik’ untuk sebutan MA, dan ‘mahkamah kakak’ untuk sebutan MK beberapa waktu lalu.
Dengan kata lain, sebesar apa pun gaji kalau tak diimbangi dengan integritas tinggi, publik bisa memastikan tindak pidana korupsi bakal ada bahkan lebih masif lagi.
“Pasti korupsinya akan naik juga karena mereka semakin lama semakin pintar untuk bisa mengakali hukum-hukum yang ada,” pungkasnya. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat