Mediaumat.id – Pertemuan Kelompok Dua Puluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral atau dikenal G20 tahun 2021 yang penutupannya diselenggarakan di Roma, Italia (30-31 Oktober 2021), dinilai tidak memiliki pengaruh positif bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang menjadi salah satu anggotanya.
“G20 tidak memiliki pengaruh positif sedikit pun bagi perbaikan atau recovery ekonomi negara-negara berkembang di dunia,” ujar Anggota Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Dr. R. Deni Muhammad Danial, M.M. kepada Mediaumat.id, Rabu (03/11/2021).
Bahkan, lanjut Danial, yang meningkat justru perekonomian negara-negara maju. “Berbanding terbalik dengan negara-negara berkembang apalagi miskin yang semakin terpuruk tingkat ekonominya,” sambungnya.
Menurutnya, kumpulan 19 negara ditambah Uni Eropa tersebut lebih kepada representasi negara kapitalis saja. Sebab, dengan potensi ekonomi yang sangat tinggi, baik dari sisi keuangan atau pun jumlah penduduk seperti Indonesia ditambah dengan Uni Eropa, mereka menguasai lebih dari 75% perdagangan dunia.
Namun yang penting diketahui, terdapat kepentingan negara maju yang jumlahnya hanya 30% dari anggota G20. Mereka negara kapitalis besar yang tidak hanya mendominasi G20 tapi juga ekonomi, keuangan dan perdagangan dunia. “Wajar kalau G20 adalah bagian dari instrumen kapitalisme global,” tegasnya.
Bahkan, menurut Danial, sejak didirikan di Berlin pada 1999, G20 tidak memiliki manfaat sedikit pun bagi negara-negara berkembang. “G20 hanyalah forum konsultasi informal untuk melanggengkan kepentingan kapitalisme global,” ungkapnya.
Terbukti, dari banyaknya negara berkembang atau malah miskin, masih saja memiliki setumpuk masalah ekonomi hingga saat ini. “Jadi, kebanggaan menjadi anggota G20 adalah sesuatu hal yang ironi,” tegasnya.
Terlebih, di dalam keanggotaan G20 ada Amerika Serikat (AS) dan Cina. Terkait itu, ia mengatakan, seiring berjalannya waktu dan kacaunya sistem ekonomi kapitalis AS, kekuatan ekonomi dunia sudah tidak lagi dikendalikan oleh AS secara tunggal. Tetapi ada kekuatan ekonomi lain yaitu Cina.
Maka, sekali lagi Danial mengingatkan, G20 hanyalah forum perdebatan antara negara-negara besar untuk mencapai kepentingan satu sama lain. “Indonesia hanya menjadi penonton saja, yang harus mau dikendalikan dan manut pada dua kekuatan besar, yaitu apakah terhadap AS atau Cina,” tambahnya.
Terakhir ia justru mempertanyakan apakah Indonesia yang didapuk menjadi presidensi G20 (1 Desember 2021 – 30 November 2022) telah diperalat atau memang akan membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia ke depan? “Pesimisme selalu menghantuinya karena selalu fakta membuktikannya,” pungkasnya.[] Zainul Krian