Mediaumat.info – Menanggapi dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), Presiden Federasi Serikat pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz menegaskan bahwa FSPMI tidak percaya lagi terhadap pengelolaan keuangan oleh pemerintah.
“Terkait dengan PP Nomor 21 Tahun 2024 ini, basicly itu, sebetulnya kita sudah tidak percaya lagi pada pemerintah terhadap pengelolaan keuangan,” ucapnya dalam diskusi Tapera: Tambah Penderitaan Rakyat, Ahad (9/6/2024) di kanal YouTube Media Umat.
Menurutnya, para buruh telah dimiskinkan secara struktural oleh Presiden Jokowi. “Kami para buruh saat ini dalam posisi sangat lemah daya belinya, karena ketika Pak Jokowi berkuasa pada 2015 mengeluarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang tatacara pengupahan yang lebih dikenal UMK oleh masyarakat,” bebernya.
Dalam PP itu, lanjutnya, buruh direduksi parameter untuk menentukan kenaikan UMK. Sebelum itu, ada UU No. 13 Tahun 2003 yang dalam menentukan UMK itu ada tiga parameter yaitu kebutuhan hidup layak, inflasi, dan produktivitas.
“Nah di PP Nomor 78 oleh Pak Jokowi dipangkas hanya ada dua parameter yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga negosiasi kita untuk bagaimana upah menuju hidup layak itu tidak bisa lagi,” jelasnya.
Ia menyesalkan, setelah para buruh melawan PP No. 78 itu Jokowi justru mengeluarkan PP Nomor 36 Tahun 2017 yang parameter kenaikan UMK itu hanya satu yaitu inflasi saja.
“Di sisi lain potongan-potongan terhadap kami itu selalu ditambahkan. Sebelum ada PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera, kami sudah ada potongan BPJS Kesehatan 1%, Jaminan Pensiun 2%, Jaminan Tunjangan Hari Tua 2%, PPH 5%. Sekarang mau ditambah lagi Tapera 3% (0,5% nya dari pengusaha),” ulasnya.
Bagi pengusaha, ia menjelaskan, berapa pun persentasenya itu tetap akan dimasukkan ke labour cost, sehingga akan berpengaruh kepada kenaikan upah yang lebih kecil.
“Ketika saya tarik mundur dua tahun ke belakang, selama dua tahun berturut-turut (2021, 2022) tidak ada kenaikan UMK karena alasan pandemi Covid-19. Kami bisa memahami itu,” tukasnya.
Di tahun 2023 ini, tuturnya, meski UMK naik tetapi penyesuaian kenaikannya di bawah inflasi. Di tahun 2024 ini kenaikan UMK-nya juga di bawah inflasi. “Rata-rata kenaikan UMK itu 1,7% sementara inflasi 2,7%. Artinya untuk menutup inflasi saja minus 1 %,” kritiknya.
UU Omnibuslaw
Riden yakin pangkal utama buruknya nasib buruh itu adalah UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Omnibuslaw Cipta Kerja.
“Sampai hari ini anggota saya sudah hampir 50.000 ter-PHK. Kenapa? Apakah perusahaannya bangkrut? Tidak juga! Perusahaan bahkan melakukan ekspansi ke Jawa Tengah, Jawa Barat. Ini terjadi karena berdasarkan UU Omnibuslaw itu perusahaan mudah merekrut serta mudah mem-PHK,” ulasnya.
Ia juga memprediksi karyawan tidak punya kemampuan untuk mengambil perumahan. “Nah jadi saya ingin katakan bahwa terhadap PP No. 21 tahun 2024 ini dengan adanya Omnibuslaw itu sangat tidak mungkin karyawan akan punya kemampuan untuk mengambil perumahan itu, karena mayoritas buruh berstatus kontrak, mayoritas magang, mayoritas harian, yang masa kerjanya tidak jelas,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat