By : Adi Victoria
Beberapa hari ini, saya membaca di sebuah artikel tentang bendera HTI.
Judul berita di artikel tersebut yakni “Ada Bendera HTI di Aksi Massa Selamatkan Rohingya” [http://www.viva.co.id/berita/metro/954051-ada-bendera-hti-di-aksi-massa-selamatkan-rohingya].
Bendera yang dimaksud adalah bendera yang berwarna hitam, dengan tulisan lafadz tauhid لا اله الا الله محمد رسول الله yang berwarna putih.
Masih di situs berita yang sama, kemarin ada lagi berita yang berjudul “Bendera HTI Ditemukan di Rumah Penghina Ibu Negara”. [http://www.viva.co.id/berita/nasional/955893-bendera-hti-ditemukan-di-rumah-penghina-ibu-negara]
Di situs berita yang lain, tertulis “Polisi Amankan Atribut HTI di Rumah Penghina Iriana Jokowi”, untuk artikel ini bisa di akses di sini [http://regional.kompas.com/read/2017/09/12/20262541/polisi-amankan-atribut-hti-di-rumah-penghina-iriana-jokowi]
Bukan Bendera HTI
Saat saya belajar di Hizbut Tahrir, saya pun bertanya kepada para “senior” saya di Hizbut Tahrir, sebenarnya yang mana bendera Hizbut Tahrir, apakah yang berwarna putih atau yang berwarna hitam?
Dan dijelaskan bahwa baik bendera yang berwarna putih ataupun hitam, itu bukanlah bendera Hizbut Tahrir, melainkan bendera milik umat Islam. Bendera yang berwarna hitam dengan lafadz tauhid لا اله الا الله محمد رسول الله disebut dengan Ar Royyah, sedangkan bendera yang berwarna putih yang juga ada lafadz tauhid لا اله الا الله محمد رسول الله disebut al liwa’.
Hal ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Ibnu ‘Abbas ra, yang berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ –صلعم- كَانَتْ رَايَتُهُ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ
“Rayahnya (panji peperangan) Rasul saw berwarna hitam, sedangkan benderanya (liwa-nya) berwarna putih.” (HR at-Tirmidzi, Ibn Majjah, at-Thabrani)
Ibnu Abbas ra juga menyatakan:
«كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ، مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ»
“Panji (râyah) Rasulullah saw. berwarna hitam dan benderanya (liwâ’) berwarna putih; tertulis padanya: Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh.” (HR ath-Thabrani)
Saat aksi peduli Rohingya oleh umat Islam lalu, aksi pengibaran bendera al liwa’ dan ar royyah pun di beberapa daerah sempat dilarang oleh aparat. Padahal sebelumnya dari pihak Kemendagri sendiri menyatakan tidak melarang pengibaran bendera tauhid, yang dilarang adalah bendera HTI.
“Yang kami larang itu adalah bendera dengan simbol HTI, bukan bendera tauhid. Keduanya berbeda, kalau HTI ini mencantumkan tulisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di bawah kalimat Laillahaillallah,” kata Soedarmo lewat pesan singkatnya pada Sabtu (22/2). [http://www.kemendagri.go.id/news/2017/07/22/kemendagri-tak-larang-bendera-tauhid-melainkan-bendera-hti]
HTI sendiri sebenarnya tidak punya bendera. Adapun yang disebut oleh kemendagri tersebut, sebenarnya bukan bendera, melainkan simbol atau lambang HTI. Sebagaimana keterangan yang terdapat di dalam AD/ART HTI BAB IX pasal 26 tentang lambang, yakni disebutkan : “Perkumpulan ini berlambang “bendera laa ilaha ilallah Muhammadur Rasulullah” di atas dasar warna hitam dan atau putih, di bawahnya bertuliskan “HIZBUT TAHRIR INDONESIA”.
Menjauhkan Umat Dari Ide Khilafah
Upaya menciptakan kesan negatif terhadap simbol Islam, khususnya terhadap al liwa’ dan ar royyah, yang dikaitkan atau yang oleh media disebut sebagai bendera HTI atau atribut HTI, adalah agar umat menjauhi bendera tersebut. Umat kemudian tidak lagi mau mengibarkan al liwa’ dan ar royyah. Sehingga ujung-ujungnya adalah juga menjauhi ide Khilafah.
Padahal antara al Liwa dan ar Raya dengan syariah dan khilafah tidaklah dapat dipisahkan. Al Liwa dan ar Rayyah di masa lalu menjadi simbol keberadaan atau eksistensi khilafah dan persatuan umat.
HTI sendiri memang sejak awal keberadaannya di negeri ini konsisten untuk selalu mengusung bendera al liwa’ dan arrayah, tujuannya tidak lain agar umat Islam menjadi tahu bahwa ternyata umat Islam memiliki bendera tauhid, bendera pemersatu, yakni al liwa’ dan ar rayyah.
Tidak hanya kemudian menjadikan umat Islam tahu, namun juga menjadi sadar dan faham, bahwa bendera inilah yang dulu menjadikan Islam mulia, Islam dan umatnya tidak dihinakan sebagaimana yang dilihat seperti sekarang ini.
Sehingga, jika ingin mulia seperti dulu, hidup mulia di bawah naungan Islam, maka bendera al liwa’ dan ar rayyah haruslah tegak berkibar di muka bumi.
Allahu Akbar!